Mohon tunggu...
Randy One
Randy One Mohon Tunggu... Human Resources - "Cape" Diem

Konsultan

Selanjutnya

Tutup

Money

Ketengan

26 Juli 2020   12:26 Diperbarui: 26 Juli 2020   12:41 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iklan Jadul Indonesia | facebook.com/iklanjadul

Setiap mendengar atau membaca kata "ketengan" saya dulu merasa kata tersebut terkesan "murahan". Padahal tentunya hal itu sekedar pengertian dasar saya saja karena kebetulan juga saya  adalah "produk" jaman dulu alias jadul dimana tidak banyak barang yg dijual secara ketengan. 

Kesan murahan tadi mungkin juga karena saya dulu belum memahami konsep "value-for-money". Kalau anak jaman sekarang alias jaman now sudah pasti akrab dengan istilah ketengan, kan segala jenis bentuk kuota internet aja sekarang bisa dibeli secara ketengan.

Di waktu saya kecil Ibunda saya sering membeli permen vicks dalam bentuk satu kontainer bundar berisi beberapa jumlah permen. Walau fungsi permen tersebut sebetulnya untuk pelega tenggorakan dari "ehem" namun hampir seluruh anggota keluarga jadi ikutan makan permen tersebut untuk sekedar iseng saja. 

Tapi tidak ada yang mau beli sendiri karena sepertinya sayang kalau harus beli satu kontainer kecil yg bundar tadi, masalahnya takut mubazir kalau cuma dimakan satu atau dua saja padahal isinya banyak.

Iklan Jadul Indonesia | facebook.com/iklanjadul
Iklan Jadul Indonesia | facebook.com/iklanjadul
Beranjak dewasa atau di masa ABG / puber saya yg pertama (sekarang sudah gak tahu yg ke berapa), suatu ketika saya naik angkot dan ketemu penjual permen yang menjajakan dagangannya dengan berkata "cepek tiga... permen vicks cepek tiga". 

Wow, apa ini? Permen Vicks warna-warni dibungkus plastik yang dijual secara "ketengan" alias 100 Rupiah dapat tiga buah permen. Wah ini inovasi modern yang sederhana tapi sangat sukses dilaksanakan di dalam angkot dan di emperan jalan. Yang kerja di bagian marketing/sales, ayo tepuk tangan.

Sekian tahun berlalu dan sayapun pernah punya pengalaman mendapatkan sukses serupa dengan berjualan secara "ketengan" tadi. Pada saat saya membuat acara konferensi yang berlangsung selama dua hari, biasanya peserta membayar biaya kepesertaan secara "lumpsum" atau sekaligus untuk dua hari. Bagi calon peserta konferensi yang menjadi masalah bukanlah biaya, tapi ternyata adalah waktu. 

Para calon peserta umumnya adalah para manajer yang sibuk dan mereka hampir tiap hari ada rapat di kantor. Jadi akan mubazir kalau mereka hadir di acara pagi hari tapi siang hari sudah harus kembali ke kantor untuk rapat. Karena setiap hari ada empat sesi (dua pagi dan dua siang), maka akhirnya saya memberikan pilihan untuk para peserta membayar per sesi yang bisa mereka hadiri saja. 

Alhasil semua slot sesi terisi penuh dan acara konferensi dua hari berlangsung sukses.  "Win-win situation" bagi penyelenggara dan peserta hanya dengan penyesuaian sederhana dalam proses transaksi bisnisnya.

Hanya sekedar intermezzo di hari Minggu terakhir di bulan Juli tahun ini. Tenggorakan juga udah mulai gatal... cari permen dulu.

Salam Kompasianer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun