Begitu hari terang, Lestari dan si bayi bergegas meninggalkan desa, berjalan kaki menuju garis depan, berharap bertemu sang ayah. Tuhan memutuskan, keluarga muda itu dengan segera berkumpul. Kecuali adik sang ayah, yang baru bisa dijumpai puluhan tahun kemudian.
Budi dan Lestari akhirnya memiliki 4 anak. Tiga laki-laki dan bungsu perempuan. Semasa kemerdekaan dan orde lama, beberapa kali Budi harus meninggalkan keluarga. Berperang mempertahankan kedaulatan negara. Pada zaman orde baru, barulah keluarga ini meninggalkan rumah berdinding anyaman bambu, beralas tanah, setelah mendapat cicilan ringan rumah sederhana dari negara. Di masa itu pula, Budi yang memasuki pensiun kembali bertemu sang adik, yang juga telah berkeluarga.
Menjelang reformasi, perjuangan keluarga Budi beralih ke masalah ekonomi. Uang pensiun dan jatah beras tiap bulan, selalu dikurangi biaya sekolah anak-anak. Tak punya tanah, apalagi sawah. Harta paling berharga selain rumah yang cicilannya lunas, berwujud sebuah sepeda ontel tua.
"Biasanya kalau sudah akhir bulan, tak mampu beli minyak, semua makanan direbus kayu bakar. Tempe direbus, tahu direbus. Ikan tidak mampu beli," ucap Budi dengan nada datar, tegar. Ia tetap bersyukur, meski kehidupan ekonomi keluarga serba terbatas. Ia bisa berkumpul dengan keluarga tersisa, menyaksikan anak-anaknya dewasa, menjadi kakek dengan 4 cucu, hingga meninggal di tahun 2004.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H