Mohon tunggu...
Virgian Noor
Virgian Noor Mohon Tunggu... -

pencari ketenangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Salam Merdeka!

17 Agustus 2010   18:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:56 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

HUT Proklamasi ke 65 yang kita peringati sekarang, hendaknya mengingatkan kita, pada jasa-jasa para pahlawan.

Ini hanya satu dari jutaan kisah dengan latar perjuangan kemerdekaan.

Beberapa waktu sebelum 1945. Budi yang berumur 20-an bertemu ketiga saudaranya di sebuah desa di Pulau Jawa. Beberapa tahun mereka terpisah oleh perang dan kemiskinan. Mereka disatukan persamaan nasib, mengangkat senjata melawan penjajah. Pertemuan keempat kakak beradik yang sudah yatim piatu sejak kecil, tak berlangsung lama.

Keberadaan mereka terendus tentara Jepang. Beruntung mereka sempat melarikan diri ke hutan, beberapa saat sebelum belasan tentara Jepang mengepung. Tahu buruannya tak jauh, para tentara bersenjata itu terus mengejar.

Dua kakak Budi yang bersembunyi di puncak pohon di dalam hutan ketahuan. Mereka disuruh turun atau ditembak mati. Keduanya turun namun tetap ditembak mati. Budi mendengar dari kejauhan.

"Saya masih ingat kata-kata tentara itu yang menyuruh kakak turun, lalu suara senjata berentetan. Kedua kakak saya sudah mati, jadi saya dan adik terus berlari sejauh-jauhnya," kisah Budi. Ia paham bahasa Jepang, karena pernah dilatih militer oleh Jepang, sebelum memutuskan memperjuangkan kemerdekaan. Budi terus berlari. Begitu pula sang adik yang memilih jalan berbeda. Mereka memutuskan berpisah agar lebih sulit ditangkap.

Pada waktu hampir bersamaan, ratusan kilometer jauhnya dari hutan tempat Budi bersembunyi, seorang ibu muda dengan bayi laki-laki pertamanya berusia 5 bulan, menjemput malam dengan perasaan was-was.

Entah kenapa, hari itu ia sangat memikirkan sang suami. Budi, yang sedang bergerilya di garis depan. Lestari, sang ibu yang juga yatim piatu sejak kecil, menutup pintu dan jendela rumah rapat-rapat, begitu matahari terbenam.

Lestari yang semasa gadisnya kembang desa, tengah diincar beberapa lelaki. Jelang tengah malam, jendela dan pintu di rumah berdinding kayu dan beralas tanah berderit hendak terbuka. Lestari yang tak tidur, cepat-cepat mengambil batang sapu dan balas menggedor dinding dengan keras.

"Siapa di luar?," lantangnya sambil menyembunyikan ketakutan. Yang terdengar hembusan berat napas lelaki, seperti binatang jalang. Lestari bergegas mengambil seluruh perabotan, menutupi pintu dan jendela. Meja, kursi, lemari, sendok nasi.

Sadar calon mangsanya melawan, para pemburu di luar semakin nekat. Pintu rumah ditendang-tendang. Lestari dengan sekuat tenaga menahan di baliknya. Tendangan dan pukulan ke pintu yang semakin keras membangunkan si bayi. Tangisan  bayi terus-menerus di kegelapan malam, melumpuhkan kekuatan para penerobos. Beberapa lama, tak terdengar jejak suara manusia di luar. Lestari segera merengkuh sang anak, menidurkannya di balik pintu, menunggu pagi menjelang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun