Mohon tunggu...
Ranto Sibarani
Ranto Sibarani Mohon Tunggu... Advokat/Pengacara -

Ranto Sibarani adalah seorang Advokat/Pengacara. Saat ini sedang menyelesaikan study Pascasarjana Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara. Selain aktif sebagai Konsultan Hukum, juga aktif sebagai Tenaga Ahli di Komisi A DPRD Provinsi Sumatera Utara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Awas Terjebak Satgas Saber Pungli

11 November 2016   09:35 Diperbarui: 11 November 2016   09:50 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.joglosemar.co

Pungli atau Pungutan Liar seringkali membuat kita geram dan marah, karena orang dengan semena-mena meminta kita membayar sesuatu yang seharusnya tidak kita bayar. Saat ini, orang matipun rawan kena pungli, dengan dalih uang sewa tanah, uang jaga, uang rumput,  dan lain-lain. Celakanya, pungli bagi orang mati harus pula dibayar oleh orang yang hidup, bukan diminta kepada si mati, suatu kondisi yang tidak seimbang. Namun semua pungli tersebut menjadi sah, jika sudah menjadi suatu peraturan yang disahkan oleh negara.

Pungli juga sering terjadi saat kita mengurus sesuatu dari instansi Pemerintah ataupun pihak lain. Misalnya, saat mengurus dokumen Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga atau Akta Lahir dan lainnya, kita dipungut biaya yang tidak seharusnya, itulah yang disebut Pungli. Contoh pungli yang lain adalah saat masyarakat melanggar suatu aturan, petugas yang berwenang malah meminta uang sebagai tebusan atas kesalahan tersebut tanpa mendaftarkan uang tersebut sebagai penerimaan negara. Sekelompok orang yang meminta uang tertentu dengan dalih biaya keamanan tanpa izin negara juga termasuk kategori Pungli.

Praktik Pungli tersebut ternyata bukan hanya mengganggu masyarakat, namun juga mengganggu kinerja Pemerintah. Presiden Jokowi dalam Peraturannya menganggap bahwa praktik pungutan liar telah merusak sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu upaya pemberantasan secara tegas, terpadu, efektif, efisien, dan mampu menimbulkan efek jera. Dengan pertimbangan tersebut, dibentuklah tim untuk memberantas Pungli dengan Dasar Hukum Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2016 Tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liaryang resmi diundangkan pada tanggal 21 Oktober 2016 yang lalu.

Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar atau Satgas Saber Punglibertanggungjawab langsung kepada Presiden. Sebagai Pengendali/Penanggung Satgas Saber adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Ketua Pelaksana: Inspektur Pengawasan Umum Kepolisian Negara Republik Indonesia, Wakil Ketua Pelaksana I: Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Wakil Ketua Pelaksana II: Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan.

Tidak tanggung-tanggung, anggota Satgas Saber Pungli ada 8 institusi yaitu, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Ombudsman Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara, Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia. Dengan komposisi tersebut, siapapun pasti akan berpikir ulang untuk melakukan Pungli.

Satgas Saber Pungli mempunyai tugas melaksanakan pemberantasan pungutan liar secara efektif dan efisien dengan mengoptimalkan pemanfaatan personil, satuan kerja, dan sarana prasarana, baik yang berada di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah. Dalam melaksanakan tugas, Satgas Saber Pungli menyelenggarakan fungsiintelijen; pencegahan; penindakan dan yustisi. Kita tentu paham apa yang dimaksud dengan fungsi intelijen dalam melakukan pemberantasan Pungli tersebut, suatu fungsi untuk memata-matai, mengikuti, menjebak, mengarahkan bahkan menangkap tanpa harus memenuhi peraturan yang berlaku, demikianlah orang sering mengartikan fungsi intelijen.

Darimana biaya untuk operasional Satgas Saber Pungli tersebut? Tentu saja biaya untuk memberantas Pungli harus didukung oleh Negara, jika tidak, tentu akan muncul praktek Pungli baru, yaitu pungli untuk tidak memberantas Pungli. Menurut Perpres tersebut, segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Satgas Saber Pungli dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara melalui Anggaran Belanja Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Anggaran baru, tentu menjadi gairah yang baru bagi pejabatnya.

Kelemahan Perpres 87 Tahun 2016.

Semangat pemberantasan Pungli harus didukung oleh semua pihak, karena kita tidak mau pungli menjadi suatu tradisi masyarakat kita dalam memenuhi hak-haknya sebagai warga negara. Namun, kita juga harus memperhatikan apa yang menjadi kelemahan dasar hukum dibentuknya Satgas Saber Pungli tersebut. Jangan nanti satgas ini malah menjadi kelompok baru yang melakukan pungli berstempel negara.

Dimuat di Koran Harian Analisa Tanggal 8 November 2016.

Baru-baru ini, AKP Jhoni Andreas Siregar, Kapolsek Medang Deras, Batubara diringkus oleh Tim Saber Pungli pada hari  Senin 24/10/2016 pagi pukul 10.00 WIB dalam operasi pemberantasan pungli (OPP), petugas mendapatkan barang bukti uang sebesar 500 ribu Rupiah. Kepala Bidang Propam Polda Sumut, Kombes Syamsudin Lubis kepada media menuturkan oknum kapolsek itu masih berstatus terperiksa, karena pihak penyidik sedang mendalami kasus dugaan pungli yang dilakoninya. Sang Kapolsek diduga melakukan pemerasan terhadap pengusaha Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Pagurawan, Kelurahan Pangkalan Dodek, Kecamatan Medang Deras, Batubara.

Muncul pertanyaan, apakah sang Kapolsek memaksa pengusaha SPBU tersebut untuk memberikan uang? Atau jangan-jangan uang tersebut adalah bentuk kegembiraan pemilik SPBU terhadap kondisi keamanan di wilayahnya sehingga dia dengan sukarela memberikan uang kepada sang Kapolsek? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja menjadi hal dasar untuk membedakan apa yang sebenarnya yang layak disebut pungli.

Kembali pada Perpres yang menjadi dasar hukum Satgas Saber Pungli tadi, salah satu kelemahan yang menonjol dalam Perpres 87 Tahun 2016 tentang  Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar adalah tidak adanya pembatasan pengertian Pungli.

Kitab Undang Undang Hukum Pidana atau KUHP sebenarnya telah mengatur tentang pungli, sebagaimana isi Pasal 423 KUHP, “Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Pasal tersebutlah yang sering digunakan untuk menjerat pelaku pungli.

Namun, KUHP juga mengatur bahwa pemberi pungli diancam dengan hukuman penjara paling lama duatahun delapan bulan, sebagaimana isi Pasal 209 KUHP “Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah kepada dua hal: Pertama, barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; Kedua, barang siapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Pungli sebagaimana Pasal 423 KUHP menurut Undang-Undang Pemberantasan Korupsi merupakan tindak pidana korupsi. Ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sering disebut UU Tipikor menyebutkan bahwa baik pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah dalam pemberantasan pungli, Satgas Saber Pungli hanya menindak penerima Pungli?, sementara pemberi Pungli tidak ditindak secara hukum. Jika yang ditangkap atau ditindak hanya penerima pungli maka hal ini menjadi rentan untuk menjebak orang lain/pejabat dengan dalih melakukan Pungli. Suatu saat orang bisa saja menjebak pejabat dengan berpura-pura memberikan sesuatu, karena dia tidak akan ditangkap dengan memberikan sesuatu, namun pejabat yang menerima pemberian tadi akan ditangkap dengan dalih Pemberantasan Pungli.

Rekomendasi

Dengan pertimbangan hal tersebut diatas, diharapkan Satgas Saber Pungli melakukan tugasnya dengan berpedoman pada peraturan yang berlaku. Jangan sampai semangat memberantas Pungli tersebut menjadi alat untuk menghindar dari masalah yang sebenarnya. Jangan sampai Satgas Saber Pungli disalahgunakan untuk menjatuhkan pejabat yang terjebak dalam kondisi kesulitan pendanaan untuk mengoperasikan institusinya.

Jangan sampai kita terjebak menganggap bahwa semua uang yang diterima oleh pejabat dari masyarakat adalah pungli, meskipun diberi secara sukarela. Padahal kita masih ingat bagaimana kita mengirimkan uang dengan sukarela kepada Joko Widodo sewaktu menjadi Calon Presiden, padahal beliau masih Pejabat Negara yaitu Gubernur DKI Jakarta ketika itu. Kita memberikan dukungan moral maupun materil karena menganggap apa yang akan dikerjakan oleh Joko Widodo nantinya setelah menjadi Presiden adalah untuk kepentingan rakyat. Hal itu bukanlah bentuk pungli, karena didorong oleh kesadaran kolektif untuk memberikan dan mendukung seseorang untuk menjadi Pejabat Negara.

Untuk itu, sudah sebaiknya negara melakukan evaluasi terhadap lembaga-lembaga negara yang sering menjadi lahan subur praktik pungli dan membenahinya dengan dukungan anggaran yang cukup, baik untuk operasional maupun untuk kesejahteraan aparaturnya. Jangan-jangan anggaran dan dukungan  negara sangat minim terhadap lembaga tersebut, sehingga aparaturnya dengan “terpaksa” melakukan pungli untuk memenuhi kekurangan anggaran tersebut.

Kita sebagai masyarakat juga harus menghentikan pemberian sesuatu kepada aparatur negara untuk melakukan apa yang sudah semestinya dikerjakan oleh aparatur negara tersebut. Mari kita dukung upaya pemberantasan pungli ini sehingga kita bisa hidup dengan nyaman tanpa gangguan pungutan-pungutan yang berdalih uang saku, uang rokok, dalih keamanan, keagamaan, perayaan kemerdekaan, dan lain-lain.

Akhirnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh rekan diskusi penulis baru-baru ini, “Atap yang bocor, ember penampung diperbesar”. Alih-alih memperbaiki atap yang bocor, kita malah sibuk mengganti ember yang lebih besar untuk menampung kebocoran. Jangan sampai praktik pemberantasan pungli ini hanya pekerjaan untuk membersihkan lantai, tapi tidak memperbaiki atap yang bocor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun