Mohon tunggu...
Ranto Sibarani
Ranto Sibarani Mohon Tunggu... Advokat/Pengacara -

Ranto Sibarani adalah seorang Advokat/Pengacara. Saat ini sedang menyelesaikan study Pascasarjana Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara. Selain aktif sebagai Konsultan Hukum, juga aktif sebagai Tenaga Ahli di Komisi A DPRD Provinsi Sumatera Utara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Awas Terjebak Satgas Saber Pungli

11 November 2016   09:35 Diperbarui: 11 November 2016   09:50 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Muncul pertanyaan, apakah sang Kapolsek memaksa pengusaha SPBU tersebut untuk memberikan uang? Atau jangan-jangan uang tersebut adalah bentuk kegembiraan pemilik SPBU terhadap kondisi keamanan di wilayahnya sehingga dia dengan sukarela memberikan uang kepada sang Kapolsek? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja menjadi hal dasar untuk membedakan apa yang sebenarnya yang layak disebut pungli.

Kembali pada Perpres yang menjadi dasar hukum Satgas Saber Pungli tadi, salah satu kelemahan yang menonjol dalam Perpres 87 Tahun 2016 tentang  Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar adalah tidak adanya pembatasan pengertian Pungli.

Kitab Undang Undang Hukum Pidana atau KUHP sebenarnya telah mengatur tentang pungli, sebagaimana isi Pasal 423 KUHP, “Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Pasal tersebutlah yang sering digunakan untuk menjerat pelaku pungli.

Namun, KUHP juga mengatur bahwa pemberi pungli diancam dengan hukuman penjara paling lama duatahun delapan bulan, sebagaimana isi Pasal 209 KUHP “Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah kepada dua hal: Pertama, barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; Kedua, barang siapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Pungli sebagaimana Pasal 423 KUHP menurut Undang-Undang Pemberantasan Korupsi merupakan tindak pidana korupsi. Ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sering disebut UU Tipikor menyebutkan bahwa baik pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah dalam pemberantasan pungli, Satgas Saber Pungli hanya menindak penerima Pungli?, sementara pemberi Pungli tidak ditindak secara hukum. Jika yang ditangkap atau ditindak hanya penerima pungli maka hal ini menjadi rentan untuk menjebak orang lain/pejabat dengan dalih melakukan Pungli. Suatu saat orang bisa saja menjebak pejabat dengan berpura-pura memberikan sesuatu, karena dia tidak akan ditangkap dengan memberikan sesuatu, namun pejabat yang menerima pemberian tadi akan ditangkap dengan dalih Pemberantasan Pungli.

Rekomendasi

Dengan pertimbangan hal tersebut diatas, diharapkan Satgas Saber Pungli melakukan tugasnya dengan berpedoman pada peraturan yang berlaku. Jangan sampai semangat memberantas Pungli tersebut menjadi alat untuk menghindar dari masalah yang sebenarnya. Jangan sampai Satgas Saber Pungli disalahgunakan untuk menjatuhkan pejabat yang terjebak dalam kondisi kesulitan pendanaan untuk mengoperasikan institusinya.

Jangan sampai kita terjebak menganggap bahwa semua uang yang diterima oleh pejabat dari masyarakat adalah pungli, meskipun diberi secara sukarela. Padahal kita masih ingat bagaimana kita mengirimkan uang dengan sukarela kepada Joko Widodo sewaktu menjadi Calon Presiden, padahal beliau masih Pejabat Negara yaitu Gubernur DKI Jakarta ketika itu. Kita memberikan dukungan moral maupun materil karena menganggap apa yang akan dikerjakan oleh Joko Widodo nantinya setelah menjadi Presiden adalah untuk kepentingan rakyat. Hal itu bukanlah bentuk pungli, karena didorong oleh kesadaran kolektif untuk memberikan dan mendukung seseorang untuk menjadi Pejabat Negara.

Untuk itu, sudah sebaiknya negara melakukan evaluasi terhadap lembaga-lembaga negara yang sering menjadi lahan subur praktik pungli dan membenahinya dengan dukungan anggaran yang cukup, baik untuk operasional maupun untuk kesejahteraan aparaturnya. Jangan-jangan anggaran dan dukungan  negara sangat minim terhadap lembaga tersebut, sehingga aparaturnya dengan “terpaksa” melakukan pungli untuk memenuhi kekurangan anggaran tersebut.

Kita sebagai masyarakat juga harus menghentikan pemberian sesuatu kepada aparatur negara untuk melakukan apa yang sudah semestinya dikerjakan oleh aparatur negara tersebut. Mari kita dukung upaya pemberantasan pungli ini sehingga kita bisa hidup dengan nyaman tanpa gangguan pungutan-pungutan yang berdalih uang saku, uang rokok, dalih keamanan, keagamaan, perayaan kemerdekaan, dan lain-lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun