Mohon tunggu...
Ranto Sibarani
Ranto Sibarani Mohon Tunggu... Advokat/Pengacara -

Ranto Sibarani adalah seorang Advokat/Pengacara. Saat ini sedang menyelesaikan study Pascasarjana Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara. Selain aktif sebagai Konsultan Hukum, juga aktif sebagai Tenaga Ahli di Komisi A DPRD Provinsi Sumatera Utara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Valentine, Seks dan Kapitalisme

13 Februari 2016   20:21 Diperbarui: 21 April 2016   10:00 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="valentine"][/caption]

 

Oleh Ranto Sibarani

Menjelang hari Valentine yang selalu dirayakan pada tanggal 14 Februari,  selalu saja banyak pro kontra diantara umat manusia. Manusia memang makhluk yang kompleks, berbeda pandangan adalah kebiasaannya, sampai orang yang ingin menjadikan hari valentine sebagai hari kasih sayang pun banyak yang menolaknya. Ada yang menuduh itu adalah hari dimana seorang pastor dihukum mati karena menjalin cinta kepada seorang gadis yang seharusnya tidak boleh dilakukan pastor, ada yang menyatakan itu hari dimana sepasang manusia dihukum mati karena hubungannya tidak disetujui oleh keluarga, dan banyak kisah lainnya.

Parahnya, pro kontra tersebut sampai muncul dalam bentuk yang paling tinggi, menyatakan penolakan terhadap orang yang merayakan valentine. Ini ibarat menolak adanya perbedaan, penolakan muncul dengan maraknya spanduk-spanduk berbunyi “kami menolak perayaan valentine”. Bisa kita bayangkan jika kemudian muncul spanduk-spanduk lainnya yang berbunyi, “kami menolak umat Kristen merayakan Natal, kami menolak Umat Islam merayakan Idul fitri, kami menolak umat Hindu merayakan Nyepi,” dll, alamat konflik horizontal ada di depan mata. 

Apakah pro kontra tersebut wajar? Tentu saja wajar, karena manusia adalah apa yang dipikirkannya, aku berpikir maka aku ada “Cogito Ergo Sum” demikian Descartes menyebutnya. Manusia selalu berpikir menurut apa yang bisa dipikirkannya, manusia berpikir menurut kepentingan ekonominya, lebih jauh lagi manusia berpikir menurut kepentingan ekonomi politiknya. Sudah sedikit orang yang menganggap cinta adalah perasaan yang sakral, saat ini semua sudah bisa dibeli, bahkan kawin kontrak sudah marak terjadi, kawin cerai adalah hal yang lumrah, jatuh cinta bukan lagi hal yang luar biasa bagi sebagian orang. Sebagian bercinta malah hanya untuk menyelamatkan kebutuhan ekonominya.

Kembali ke valentine, penolakan valentine hanyalah suatu bagian dari banyaknya penolakan-penolakan lain yang sering dilakukan dengan dalih agama. Namun manusia tetaplah manusia dengan keterbatasannya, dia ingin selalu sempurna dibalik ketidaksempurnaannya. Agama tertentu menolak riba, namun sistem ekonomi saat ini adalah sistem akumulasi modal, riba adalah akumulasi modal, konsep nilai lebih telah menjadi sistem ekonomi yang tentulah bertolak belakang dengan agama tersebut. Agama yang satu menerima poligami, agama yang lain menolak, yang lain menuduh poligami hanya urusan seksual, yang lain menerima itu sebagai ibadah, itulah perbedaan.

Sistem ekonomi sekarang mensyaratkan bahwa jasa seksual adalah jasa yang diperjualbelikan, sehingga tidak perlu beristri lebih dari satu jika ingin mendapatkan kepuasan seksual, namun yang lain menganggap itu adalah ibadah, yang celaka adalah bila laki-laki memperistri lebih dari dua orang, namun si laki-laki tidak menafkahinya. Memperistri lebih dari satu perempuan adalah menafkahi orang lain, menafkahi adalah ekonomi.  Banyak alasan untuk melakukan penolakan terhadap poligami meskipun di agama tertentu itu “katanya” disetujui. Lantas apakah dengan persetujuan tersebut orang yang beragama lain pantas menolak poligami?

Tidak ketinggalan, sistem ekonomi kita yang saat ini percaya dengan asas akumulasi nilai lebih dengan cepat mengejar segala perkembangan manusia tersebut. Perkawinan saat ini adalah perputaran modal yang besar, tempat merayakan pesta perkawinan saat ini tersedia mulai dari harga puluhan juta sampai ratusan juta. Manusia cepat menyesuaikan diri dengan sistem ekonomi ini, namun banyak juga yang keteteran tidak sanggup mengikuti sistem kapitalisme ini.

Sebagian paham menyebut perkawinan hanyalah alat untuk memuaskan hasrat seksual untuk menjadi hak milik, yang lain menyebut perkawinan adalah ikatan yang sakral lambang cinta abadi. Bagi yang tidak memiliki modal untuk merayakan perkawinan, atau mengawini seseorang dengan biaya tinggi, maka tempat alternatif untuk melampiaskan hasrat seksual juga tersedia. Mulai dari tarif yang rendah sampai tarif tinggi, mulai dari transaksi terbuka di dunia nyata sampai pada transaksi online di dunia maya.

Media sosial sebagai lambang kemajuan teknologi digital juga menyusul dengan cepat, menjadi alat promosi menjual kebutuhan seksual manusia, mulai dari menawarkan jasa seksual beda usia, beda kelamin, sama kelamin bahkan beda ras, semua dipromosikan secara maya, namun berpeluang dilanjutkan di dunia nyata. Buktinya baru-baru ini pihak Kepolisian kita menangkap mucikari penjaja seksual di kalangan artis, yang transaksinya melalui handphone.

Saat ini marak terjadi perdebatan tentang  LGBT atau Lesbian, Gay, Biseksual dan Transeksual. Saya kurang paham pengertian dari masing-masing terminologi tersebut, namun dengan singkat dapat saya pahami itu adalah tentang perbedaan orientasi seksual yang hanya dialami oleh minoritas manusia diantara paham mayoritas bahwa hubungan cinta yang berlanjut ke hubungan seksual  lazimnya hanyalah antara laki-laki dan perempuan. Semua dalih penolakan tersebut mendapat pembenaran dari agama, agama saat ini menjadi alat paling suci dan pamungkas untuk membedah hal tersebut, siapa yang menolak kajian agama akan terjebak dengan tuduhan menolak agama, suatu jalan buntu untuk berdebat.

Apakah dalih agama adalah satu-satunya alat yang bisa membedah tentang LGBT? Tidak, saya lebih tertarik melihat bagaimana sistem ekonomi kapitalisme saat ini menyambut hal tersebut. Perbedaan orientasi seksual mungkin adalah ranah yang sulit kita pahami, namun kita bisa melihat bahwa banyak industri saat ini yang melihat LGBT adalah peluang pasar.  Peluang pasar adalah sesuatu yang memperpanjang umur kapitalisme, kapitalisme bobrok dimana-mana, pengusaha kecil akan mati bersaing dengan pengusaha besar, karena itu mereka merakit sistem hukum untuk sekedar memperpanjang pengusaha kecil, agar pasar tidak mati, “tambal sulam” adalah ciri khas kapitalisme.

Kembali ke pasar LGBT tadi, industri dengan cepat melengkapi alat bantu untuk membuat pasangan LGBT dengan baik mengeksplorasi pengalaman seksualnya. “sex toys” adalah industri besar pasar ekonomi, disamping industri pornografi yang sebelumnya booming di Eropa bahkan sampai ke Asia. Kalau anda tidak mengenal Maria Ozawa, anda beruntung, mungkin anda belum menjadi konsumen industri pornografi tersebut.

Karena itu, apakah pernah ada kajian ekonomi tentang LGBT ini? Sektor apa yang akan diproduksi massal jika LGBT dilindungi oleh Undang-Undang?, sebagaimana banyaknya tuntutan agar LGBT ditolak maupun diterima dengan mekanisme UU. Pasar apa yang mati apabila kekuasaan membunuh kaum LGBT sebagaimana mereka membunuh kaum yang dituduh “komunis” pada masa lalu?  Saya lebih tertarik mengetahui kajian tersebut ketimbang membahasnya dengan dalih agama, yang tentu saja itu sudah diharamkan.

Dengan demikian, perdebatan valentine, LGBT, Seks dan perayaan cinta (perkawinan) menurut saya akan menyibukkan sebagian manusia untuk saling serang, saling tuding, saling klaim kebenaran dipihaknya. Sementara disisi yang lain, segelintir manusia yang menguasai pasar yang terarah pada akumulasi modal akan menjadikannya sebagai peluang, mengemas produknya yang ramah terhadap segala perdebatan, menawarkannya kepada manusia  yang saling debat tadi, dan celakanya, semua manusia pendebat tadi melahap semua produk yang diciptakan karena beda pikir tadi.

Sebagian terjebak menggunakan produk industri kapitalisme tadi untuk merayakan capaian cintanya yang dianggap sah, sebagian lagi menggunakannya untuk melampiaskan perjuangan cintanya yang dianggap tidak lazim, padahal, diatas semua klaim kebenaran tadi, mereka berebut tanah, berebut rumah, berebut pekerjaan, berebut makanan, yang sudah dilabeli hak milik oleh sistem ekonomi yang dikuasai oleh segelintir orang. “Have a sweet valentine” semoga kita tidak berperang, saling melukai, saling membunuh, hanya untuk mengkalim kebenaran.

 

* Dibuat untuk bahan diskusi yang diselenggarakan oleh Komunitas Rumah Peradaban (KRP) dengan tema “Reposisi Cinta, Analisis Situasi Nasional” pada tanggal 13 Februari 2016 di Jalan Tangkul 1, Gg. Watas No 7. Medan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun