Oleh: Ranto Sibarani
Bau Orde Baru bagaikan ada yang menyebarkan setelah 16 tahun lebih rezim tersebut ditumbangkan oleh aksi massa mahasiswa. Bagaimana tidak, ide untuk mengembalikan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dituduh sebagai tindakan yang tidak demokratis yang mirip dengan kebiasaan politik Orde Baru yang pongah saat mengalami kejayaan selama 32 Tahun yang dipimpin oleh Soeharto, seorang militer yang kerap dijuluki Presiden Otoriter oleh banyak peneliti bidang politik. Pada masa rezim Orde Baru ini berkuasa, Kepala Daerah adalah merupakan jatah untuk sekelompok orang dekat dan segolongan dengan Soeharto, saat itu pejabatnya banyak yang berasal dari rezim militer.
Undang-Undang yang mengatur tentang Pilkada melalui DPRD tersebut rencananya akan ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada tanggal 25 September 2014. Sebagai bangsa yang masih baru masuk pada tahapan awal Demokrasi paska Orde Baru, kita tentu terheran-heran dengan keinginan Pemerintah untuk mengembalikan Pilkada melalui DPRD ini. Belum jelas apakah Badan Legislatif dalam hal ini anggota DPR RI akan menetapkan Pilkada melalui DPRD atau Pilkada langsung dipilih oleh rakyat. Negara sedang diuji, apakah akan kembali pada bau busuk kebiasaan politik ala Orde Baru, atau tetap mempertahankan Pilkada Langsung yang telah dengan susah payah dimulai dan mulai menampakkan hasil dengan lahirnya pemimpin-pemimpin alternatif sekelas Joko Widodo, Ahok, Risma, Ridwan Kamil dan lain-lain.
Demokrasi dan Pilkada Langsung di Indonesia
Paska Orde Baru, kemajuan demokrasi di Indonesia sangat significant, sistem Pemilu yang sebelumnya tertutup, mulai menggunakan sistem proporsional daftar setengah terbuka. Rakyat hanya memilih lambang Partai pada Pemilu sebelum Pemilu 1999 tanpa mengetahui siapa yang akan menjadi wakilnya di DPR, akhirnya dapat mengetahui siapa saja yang dicalonkan partai sebagai Calon Legislatif mulai Pemilu 1999, meskipun saat itu belum ada sistem suara terbanyak. Pada pemilu sebelum 1999, Partailah yang akan menentukan siapa orang yang akan mendapat kursi legislatif setelah kuota suara terpenuhi.
Pemilu 1999 adalah Pemilu pertama yang kembali menerapkan sistem Pemilu multi partai paska Soeharto. Lebih dari 150 Partai baru muncul pada saat itu, namun hanya 48 Partai yang berhasil memenuhi persyaratan untuk memperebutkan 462 kursi di DPR RI. Pada pemilu 1999, peran partai peserta Pemilu juga bertambah, selain sebagai “pemain” atau peserta pemilu dan pengawas pemilu, Partai juga berperan sebagai penyelenggara pemilu, saat itu belum ada Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Demokrasi terus bergerak maju, pada Pemilu 2004 Indonesia telah berhasil membentuk KPU sebagai lembaga independen yang bertugas menyelenggarakan Pemilu, dan membentuk Lembaga Pengawas Pemilu atau Panwaslu. Jumlah Partai peserta pemilu berkurang hampir separuhnya yaitu hanya diikuti sebanyak 24 Partai. Pada tahun 2004 pula untuk pertama kalinya rakyat Indonesia memilih secara langsung calon Presiden dan Wakil Presidennya. Badan Legislatif juga mengalami perubahan, ada penambahan satu lembaga perwakilan, yaitu Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Pemilu 2004 mengaplikasikan hasil Amandemen UUD 1945 yang menjerapkan sistem parlemen bikameralisme dua kamar. Kamar pertama adalah DPR (di tingkat provinsi dan kabupaten atau kota DPRD I, dan DPRD II). Sementara itu, kamar kedua adalah DPD. Anggota DPD nantinya akan menjadi anggota MPR bersama-sama dengan DPR. Anggota DPDlah yang akhirnya menggantikan posisi Fraksi Utusan Golongan dan Fraksi TNI/Polri yang selama rezim Orde Baru tidak dipilih melalui mekanisme Pemilihan Umum, fraksi yang dihasilkan tanpa melalui Pemilihan Umum ini adalah salah satu mahkota kepongahan politik gaya Orde Baru.
Bangunan demokrasi selanjutnya berhasil didirikan pada tanggal 15 Oktober 2004, Megawati sebagai Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang inilah yang mengatur dan memberikan kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk memilih langsung Kepala Daerahnya. Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pilkada Langsung pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007 yang berhasil memenangkan Fauzi Bowo sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Pro Kontra RUU Pilkada Paska Pilpres
Indonesia telah berhasil menyelenggarakan Pemilu Presiden (Pilpres) pada tanggal 9 Juli 2014, yang diikuti 2 pasangan Calon Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta Rajasa, KPU bahkan telah menetapkan perolehan suara dengan kemenangan pasangan Calon Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla dengan perolehan suara 70.997.833 (53,15 persen) dan perolehan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa: 62.576.444 (46,85 persen).
Sejak awal pada masa kampanye dan pada masa penghitungan suara pada Pemilu Presiden tersebut, Koalisi Pendukung pasangan calon telah melakukan banyak manuver untuk menyangkal kemenangan Joko Widodo yang sering disebut Jokowi tersebut. Kita kemudian akrab dengan istilah bocor, non islam, non pribumi, keturunan PKI, kita juga akrab dengan hasil quick count yang direkayasa, lahirnya lembaga-lembaga quick count yang tidak kredibel, tuduhan Pilpres curang, kita disuguhi dengan tontonan gugatan hasil Pilpres di MK, bahkan dilanjutkan dengan gugatan ke PTUN dan ke Mabes Polri, namun tidak satupun institusi tersebut mengabulkan gugatan Koalisi pendukung Prabowo.
Tidak berhenti sampai disitu, Partai Politik yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih tiba-tiba memberikan kejutan kepada rakyat Indonesia pada awal September 2014. Semua parpol Koalisi Merah Putih, yakni Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Amanat Nasional, malah mendorong agar kepala daerah dipilih oleh DPRD. PKS yang awalnya setuju dengan Pilkada Langsung oleh rakyat tiba-tiba berbalik arah, bergabung dengan Koalisi Merah Putih mendukung Pilkada melalui DPRD. Berbalik arahnya PKS ini dicurigai banyak pihak sebagai dampak dari kekalahan pasangan Capres yang didukung oleh partai-partai tersebut dalam Pilpres. Menariknya, SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat telah memberikan sinyal bahwa partainya mendukung Pilkada Langsung, meskipun hal tersebut bertolak belakang dengan pernyataan Menteri Dalam Negerinya, Gamawan Fauzi yang mendukung Pilkada melalui DPRD, Demokrat sedang bermain?.
Situasi tersebut telah menggelitik kesadaran politik rakyat yang sedang bertumbuh paska lahirnya pemimpin seperti Jokowi sebagai sebuah ide tentang perubahan, kesadaran politik rakyat yang menganggap Jokowi adalah ide perubahan bukan saja telah melahirkan gerakan relawan, suatu gerakan fenomenal yang belum dikenal sebelumnya dalam perkembangan politik di Indonesia. Ide tentang Jokowi dengan segala prestasi dan citranya sebagai rakyat kecil telah menumbuhkan antusiasme rakyat untuk terlibat dalam politik melalui Pemilu dengan mengenyampingkan dan cenderung mengabaikan trend money politik yang marak terjadi pada Pemilihan Calon Legislatif April 2014. Jokowi bahkan didukung secara materi oleh rakyat yang peduli, tercatat sebanyak 58.532 orang mengirimkan dana ke rekening Jokowi yang konon jumlahnya mencapai lebih dari 109 Miliar Rupiah.
Fenomena politik tersebut membuat sebagian orang curiga bahwa manuver-manuver yang dilakukan oleh Koalisi pendukung Prabowo adalah sebagai suatu bentuk penyangkalan terhadap kemenangan Jokowi, yang juga berarti equivalent dengan menyangkal pilihan rakyat. Mendukung Pilkada melalui DPRD adalah suatu bentuk kepongahan politik yang ingin dipusatkan kepada sekelompok orang tanpa melibatkan posisi rakyat sebagai penetunya, hal tersebut bukan saja sebagai tindakan yang memundurkan pilar demokrasi yang telah berhasil dibangun, namun juga membuat rakyat tidak memiliki kesempatan untuk memilih Jokowi-Jokowi lain yang benar-benar berpihak, bekerja, dan terbiasa mendengar keluh kesah rakyatnya secara langsung. Kita harus menyadari, Jokowi menjadi walikota Solo pada tahun 2005 adalah hasil dari Pemilihan Langsung oleh rakyat.
Keinginan untuk mengembalikan Pilkada melalui DPRD dianggap sebagai suatu taktik untuk menguasai jabatan Kepala Daerah oleh Partai pendukung Capres yang kalah. Sebagaimana kita ketahui, partai pendukung Pilkada melalui DPRD ini memiliki anggota DPRD mayoritas di 33 Propinsi, taktik ini patut dicurigai dilakukan sebagai upaya untuk menghambat program Presiden terpilih, dan untuk selanjutnya dapat dengan mudah memenangkan Pilpres yang akan diselenggarakan pada tahun 2019. Keinginan Pemerintah yang mengembalikan Pilkada melalui DPRD telah disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, yang bahkan dengan tegas menyatakan bahwa apa yang disampaikan oleh SBY adalah mewakili suara partai (Demokrat) bukan mewakili Pemerintah. Ironisnya, para bupati dan wali kota yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) telah mengeluarkan pernyataan menolak tegas pilkada oleh DPRD.
Rakyat yang telah merasakan bagaimana usaha politisi dan penguasa untuk mendekati rakyat saat mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah pada Pilkada langsung tentu tidak ingin kembali pada masa Orde Baru, dimana rakyat hanya sebagai penonton tanpa memiliki peran dalam memilih Kepala Daerahnya. Rakyat menemukan bargaining politiknya pada Pilkada Langsung, bagi calon Kepala Daerah yang memiliki sedikit prestasi, maka upaya untuk melakukan money politik sering dilakukan, trend tersebut bukanlah kebiasaan rakyat, namun dihasilkan oleh situasi dimana calon kepala daerah memiliki prestasi yang minim untuk dijadikan sebagai justifikasi memilihnya. Namun bagi calon yang memiliki banyak prestasi kerakyatan dan memiliki latar belakang kedekatan dengan rakyat, pada Pilkada Langsung dapat dengan mudah menjadi Kepala Daerah selama dia di dukung oleh Partai, itulah bargaining politik rakyat. Namun kita sering dihadapkan pada situasi dimana Partai Politik malah mendukung calon yang memiliki banyak kekayaan harta dibandingkan mencalonkan pemimpin yang memiliki keberpihakan kepada rakyat.
Sistem demokrasi telah menjadikan semua masyarakat setara, rakyat yang berasal dari berbagai golongan, kelas ekonomi, berbeda latar belakang pendidikan, memiliki hak suara yang sama, setiap orang yang telah memenuhi syarat untuk memilih sesuai dengan Undang-Undang Pemilu memiliki satu suara. Untuk mempertahankan bargaining politik rakyat tersebut dan menolak kepongahan orang-orang yang saat ini berpolitik, setiap rakyat yang menolak bangkitnya kebiasaan politik Orde Baru harus bersatu padu melakukan aksi-aksi massa untuk menekan DPR agar menolak menetapkan RUU Pilkada melalui DPRD.
Akhirnya, selain melakukan aksi-aksi massa sebagai bentuk parlemen jalanan untuk mendesak pemerintah menolak usul Pilkada melalui DPRD, kita berharap banyak pada manuver politik Partai Demokrat, Demokrat memiliki 145 kursi di DPR periode 2009-2014, sehingga rencana Pilkada melalu DPRD yang diusung koalisi Merah Putih dapat dibatalkan jika Demokrat benar-benar melakukan pengaruh politiknya yang kebetulan Ketua Umumnya juga menjabat sebagai Presiden yang masih bertugas sebelum Jokowi dilantik pada pertengahan Oktober 2014. Saatnya SBY menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang Presiden yang menghargai hak politik rakyatnya, mendengarkan suara rakyatnya, semoga kepongahan politik Pilkada melalui DPRD bukanlah menjadi warisan pemerintahannya.
Oleh: Ranto Sibarani (ransibar@gmail.com)
Tulisan ini dimuat di Harian Analisa edisi 27 September 2014 http://goo.gl/FGcvv2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H