Mohon tunggu...
Ranto Sibarani
Ranto Sibarani Mohon Tunggu... Advokat/Pengacara -

Ranto Sibarani adalah seorang Advokat/Pengacara. Saat ini sedang menyelesaikan study Pascasarjana Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara. Selain aktif sebagai Konsultan Hukum, juga aktif sebagai Tenaga Ahli di Komisi A DPRD Provinsi Sumatera Utara.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masih Anak-anak Dipaksa Pilih Warga Negara (Kritik Terhadap Undang-Undang Kewarganegaraan)

6 November 2014   09:12 Diperbarui: 21 April 2016   10:13 830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="karikatur_Harian Analisa"][/caption]

 

Oleh: Ranto Sibarani, S.H.

Derasnya keterbukaan arus informasi antar negara melalui internet, canggihnya gadget dan komputer dan mudahnya akses keluar masuk antar negara telah memberikan peluang terjadinya hubungan asmara antara warga dengan negara berbeda. Hubungan asmara ini tidak jarang menghasilkan anak-anak yang dilahirkan oleh orangtua yang berbeda kewarganegaraan, hubungan tersebut bisa saja diikat dalam suatu perkawinan yang mematuhi peraturan di salah satu negara kedua orangtua si anak tersebut, perkawinan antar warga negara yang berbeda ini sering disebut dengan kawin campur atau “Kapur”. Kawin Campur dalam tulisan ini adalah perkawinan antara pasangan Perempuan dan Laki-laki yang salah satunya berkewarganegaraan Indonesia.

Namun sering pula terjadi hubungan tersebut tidak diikat dalam suatu perkawinan, hal ini tidak terlepas dari gaya hidup yang semakin hari semakin menuntut kebebasan tanpa ikatan atau bisa pula disebabkan adanya ketidakcocokan yang disadari setelah pasangan Kapur ini memiliki anak, sehingga akhirnya mereka memilih untuk tidak mengesahkan perkawinannya.

Perkawinan Campur ternyata telah diatur dalam Perundang-Undangan di Indonesia yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasalnya yang ke 57. Pasal tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Pertanyaan selanjutnya adalah Bagaimana Undang-Undang yang berlaku di Indonesia mengatur tentang kewarganegaraan anak-anak hasil perkawinan campur ini?

Aturan Terkait Kewarganegaraan

Indonesia telah memiliki aturan terkait dengan kewarganegaraan, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang ini telah diatur bahwa anak-anak hasil kawin campur dapat menjadi Warga Negara Indonesia jika memenuhi persyaratan Undang-Undang. Undang-undang ini bahkan mengatur bahwa anak-anak hasil kawin campur diluar perkawinan yang sah juga memiliki hak untuk memiliki kewarganegaraan.

Secara hukum, menurut Undang-Undang Kewarganegaraan tersebut, anak-anak yang dihasilkan dari suatu perkawinan campur  yang sah memiliki Kewarganegaraan Indonesia, hal ini sesuai dengan aturan dalam Pasal 4 ayat A sampai E UU Noor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Bagaimanakah pula yang disebut dengan perkawinan yang sah itu?

Sahnya perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini menegaskan bahwa setiap orang yang akan menikah harus mendapat persetujuan kedua belah pihak, jika belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin dari kedua orangtua, pernikahan hanya diijinkan jika pasangan pria telah berumur minimal 19 tahun dan pasangan wanitanya telah berumur 16 tahun, jika ada penyimpangan harus diatur oleh pengadilan.

Menurut Undang-Undang perkawinan ini, perkawinan dilangsungkan paling tidak 10 hari setelah dilakukan pengumuman kehendak perkawinan, setelah itu perkawinan harus dilakukan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing di hadapan Pegawai Pencatat serta dihadiri oleh dua orang saksi, setelah perkawinan dilangsungkan, kedua mempelai, para saksi dan Pegawai Pencatat membubuhkan tanda tangannya pada akta perkawinan, dengan demikian sahlah suatu perkawinan.

Bagaimana pula suatu perkawinan yang tidak sah? Hal ini tentu saja mudah untuk dijawab. Perkawinan yang tidak sah adalah suatu perkawinan yang melanggar aturan yang berlaku atau tidak sesuai dengan isi Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974. Suatu perkawinan juga tidak sah di hadapan hukum apabila perkawinan tersebut belum di daftarkan kepada Petugas Catatan Sipil, meskipun syarat-syarat lain untuk perkawinan tersebut telah dipenuhi.

Kembali pada topik kewarganegaraan, seorang anak yang dihasilkan oleh kawin campur diluar perkawinan yang sah tetap diakui kewarganegaraan si anak tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan, Pasalnya yang ke 4 ayat F dan G yang menyebutkan bahwa negara Indonesia mengakui Kewarganegaraan anak hasil perkawinan campur diluar perkawinan yang sah sampai anak tersebut berusia 18 Tahun.

Usia anak-anak yang dibatasi sampai 18 tahun ini mungkin dipengaruhi oleh Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak. Definisi anak dalam pasal tersebut adalah seseorang yang belum berusia 18  (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Sampai Kapan Berkewarganegaraan Ganda?

Untuk menentukan kewarganegaraan seseorang dikenal beberapa asas kewarganegaraan, pertama asas Ius Soli artinya kewarganegaraan seseorang ditentukan dimana seseorang tersebut dilahirkan. Kedua asas Ius Sanguinis artinya kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh keturunan atau siapa orangtua dari anak tersebut. Anak hasil kawin campur akan memiliki kewarganegaraan ganda sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa anak-anak yang lahir dari seorang ibu WNI dan ayah WNA atau sebaliknya akan berkewarganegaraan ganda sampai si anak berusia 18 Tahun.

Apabila si anak hasil Kapur tadi sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin maka si anak harus menentukan pilihannya untuk memiliki satu kewarganegaraan. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan kepada negara paling lama 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Dengan aturan tersebut, suka atau tidak, setiap anak hasil Kapur yang sudah berusia 18 tahun harus memilih kewarganegaraan salah satu dari orangtuanya. Hal inilah yang disebut tidak mempertimbangkan kematangan atau stabilitas jiwa dari si anak. Aturan ini dianggap orangtua yang kawin campur sebagai sesuatu yang terlalu memaksa bagi anak-anak mereka.

Salah seorang orangtua kawin campur yang baru-baru ini diwawancarai penulis menyebutkan keberatannya tentang batas usia 18 tahun  yang selanjutnya mengharuskan anaknya untuk memilih kewarganegaraan tersebut. Yani Pitoyo, 40 tahun asal Medan, yang bersuamikan seorang warga negara Inggris, mr. Paget,  saat ini telah memiliki sepasang anak yang berusia 12 dan 13 tahun, kedua anaknya lahir di Medan. Yani menyampaikan keberatannya tentang usia anak yang diharuskan memilih kewarganegaraan tersebut. Dia menyebut ada ribuan orangtua kawin campur yang merasa keberatan yang sama dengan dirinya.

Menurut Yani, usia 18 tahun tidaklah cukup matang untuk seseorang “dipaksa” untuk memilih kewarganegaraan tertentu yang dimiliki salah seorang orangtuanya. Dia berharap pemerintah Indonesia mau merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan sehingga memberikan status kewarganegaraan ganda bagi seorang anak hasil perkawinan campur sampai usia 25 tahun. Yani menyebutkan usia 25 tahun cukup ideal dan kemampuan untuk memilih status kewarganegaraan bagi seseorang sudah cukup matang.

Rekomendasi

Dengan uraian diatas, kita ketahui bahwa seseorang yang lahir dari hasil perkawinan campuran dua orang yang berbeda kewarganegaraan akan memiliki kewarganegaraan ganda sampai si anak berusia 18 tahun. Namun hal yang berkembang kemudian adalah orangtua merasa bahwa usia tersebut masih sangat labil bagi seseorang untuk menentukan kewarganegaraannya. Untuk itu orangtua yang kawin campur harus melakukakan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk menuntut perubahan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan sehingga usia seseorang untuk menentukan kewarganegaraan dapat memenuhi rasa keadilan bagi orangtua dan anak-anak yang lahir dari perkawinan campur antara dua kewarganegaraan.

Oleh: Ranto Sibarani, SH

Dimuat di Harian Analisa 15 Nov 2014 Hal. 24

http://analisadaily.com/news/read/masih-anak-anak-dipaksa-pilih-warga-negara/81596/2014/11/15

Tulisan ini dibuat sebagai solidaritas untuk rekan-rekan yang kawin campur antar Warga Negara yang berlainan dan menjelang Seminar Diaspora & Dinamika Kewarganegaraan di Indonesia yang diselenggarakan oleh Indonesian Diaspora Network di Universitas Negeri Medan pada Tanggal 6 November 2014.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun