[caption caption="dpr"][/caption]
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang diselenggarakan pada tanggal 9 Juli 2014 praktis telah menjadikan fragmentasi politik bukan hanya di level rakyat, namun juga terjadi pada level legislatif atau anggota dewan, dan disinyalir akan menular pada level eksekutif atau pemerintahan. Hebatnya dinamika politik pra dan paska Pilpres telah membuat dua kelompok besar yang berbeda watak dan munculnya politik dominasi antara elit politik yang pernah berseteru pada Pilpres tersebut.
Masih segar dalam ingatan kita bagaimana serangan-serangan dan tuduhan-tuduhan yang digunakan untuk menjatuhkan pihak lawan menggunakan isu-isu yang selama ini justru dipelihara dan dibiarkan tumbuh berkembang ditengah-tengah masyarakat tanpa adanya kepastian hukum dan tanggungjawab negara. Misalnya tuduhan yang bersifat rasis, tuduhan PKI, tuduhan minoritas, tuduhan pelanggar HAM dan banyak tuduhan-tuduhan lain. Semua tuduhan tersebut sebenarnya adalah persoalan dan dosa politik yang selama ini telah diabaikan, tidak diusut dan terkesan dipelihara oleh negara. Aktor yang melakukan dosa-dosa politik tersebut bisa saja sudah tiada atau bahkan bisa saja saat ini sedang berada pada inti kekuasaan.
Situasi Politik Nasional
Dinamika politik menjelang dan setelah Pilpres 2014 telah membuat kita dengan mudah menduga kecenderungan prilaku politik kedua kubu yang selama ini berseteru untuk memenangkan pasangan Joko Widodo atau Prabowo. Kemenangan Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang diumumkan oleh KPU menjadikan lembaga KPU tertuduh melakukan kecurangan, hal ini kemudian diikuti dengan gugatan-gugatan di Mahkamah Konstitusi bahkan sampai ke PTUN. Namun semua gugatan itu tidak mendapatkan hasil, Presiden terpilih Jokowi akhirnya dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014 yang lalu.
Perselisihan dua kubu politik saat Pilpres ternyata tidak berhenti paska keputusan MK yang menggagalkan gugatan Prabowo dan kawan-kawan pada tanggal 21 Agustus 2014. Kubu Koalisi Merah Putih (KMP) pendukung Prabowo dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pendukung Jokowi tetap berseteru dalam memenangkan kepemimpinan di DPR dan MPR, mudah di duga, KMP yang jumlahnya lebih besar yaitu 353 atau 63% jika digabungkan dengan Fraksi Partai Demokrat. Sementara itu kekuatan KIH adalah 207 kursi atau 37% dari sebanyak 560 anggota DPR RI. Dapat dipastikan KMP akan selalu memenangkan perseteruan dalam voting di MPR. Sebagaimana kita ketahui, MPR adalah lembaga legislatif Bikameral yang terdiri dari DPR dan DPD, jumlah anggota DPR 560 orang, sementara jumlah anggota DPD sebanyak 132 orang sehingga total jumlah MPR adalah 692 orang.
Kemenangan demi kemenangan diraih oleh KMP di DPR, tidak tanggung-tanggung 5 kemenangan telah diraih oleh KMP paska Pilpres, diantaranya adalah pertama pada saat pengesahan UU MD3 yang menyebutkan pemilihan pemimpin parlemen tidak didasarkan pada pemenang Pileg, melainkan berdasarkan paket. Kedua Pengesahan Tatib. Ketiga UU Pilkada melalui DPRD, yang mengatur bahwa pemilihan Kepala Daerah tidak lagi melalui pemilihan langsung melainkan melalui DPRD. Keempat pemilihan pemimpin DPR yang diketuai oleh Setya Novanto dan empat wakil ketua yaitu Fahri Hamzah (PKS), Fadli Zon (Gerindra), Agus Hermanto (Demokrat), Taufik Kurniawan (PAN) dan yang kelima adalah penentuan pemimpin MPR dalam lima tahun ke depan, semua diborong oleh KMP.
Dominasi KMP di lembaga legislatif tertinggi tersebut akhirnya membuat KIH gerah dan melakukan manuver politik, tidak tanggung-tanggung pada tanggal 29 Oktober 2014 KIH membentuk Pimpinan DPR Tandingan yang diketuai oleh Pramono Anung (PDIP) dan empat wakil ketua yaitu Abdul Kadir, Saifullah Tamliha (PPP), Patrice Rio Capella (Nasdem) dan Dossy Iskandar (Hanura). Kegaduhan di lembaga DPR ini kemudian membuktikan kepada kita bahwa anggota DPR RI lebih mementingkan perebutan kekuasaan di Lembaga Legislatif tertinggi tersebut ketimbang membicarakan dan beradu argumen untuk memenuhi kepentingan rakyat banyak.
Wacana Membubarkan DPR
Kegaduhan di lembaga DPR tersebut pada akhirnya mempertontonkan prilaku sesungguhnya anggota legislatif. Rakyat dengan mudah melihat bagaimana watak asli wakilnya di parlemen mulai dari berebut bicara, ribut berteriak-teriak tidak teratur, membalikkan meja sampai pada praktek yang hampir adu jotos adalah tontonan yang biasa di televisi akhir-akhir ini. Semua tontonan tersebut kemudian memunculkan wacana agar Presiden membubarkan DPR karena lembaga tersebut sudah dianggap tidak lagi mewakili kepentingan rakyat, namun cenderung digunakan untuk merebut kekuasaan.
Bagaimana tidak, pada saat anggota DPR sibuk bergaduh ria berebut kekuasaan, Presiden terpilih, Jokowi malah membuat terobosan yang menakjubkan. Jokowi menetapkan struktur kabinetnya pada tanggal 26 Oktober 2014, terobosannya adalah mulai dari memiliki jumlah menteri Perempuan yang banyak yaitu 8 orang, memilih menteri yang pendidikannya hanya sampai SMP, dan yang tidak kalah hebatnya, Jokowi langsung melakukan blusukannya yang pertama paska dilantik menjadi Presiden yaitu mengunjungi Korban Erupsi Sinabung di Tanah Karo, Sumatera Utara pada tanggal 29 Oktober 2014, ribuan rakyat dengan antusias menyambut kedatangan Jokowi pada saat itu.