Jadi tidak ada jalannya ayah dibilang hanyut atau tenggelam.
Atas dasar pemikiran itulah, dua orang warga yang masih kerabat dekat keluarga ayah berinisiatif meminta bantuan parubat. Dari parubat itulah diketahui kalau ayah diculik oleh orang bunian.
*
Selepas mengumpat kesal tadi, Tandika teringat beberapa cerita ayah. Salah satunya, dulu, sewaktu ayah baru menikah dengan ibu, ayah pernah dijemput seorang tentara yang bertugas sebagai babinsa di desa mereka.
Alasan penjemputan itu karena ayah sering menyampaikan pendapatnya di lapo tentang hak keturunan orang yang dituduh terlibat dengan partai terlarang di masa pergolakan politik dulu.
Menurut ayah waktu itu, hak mereka sebagai warga negara harus sama dengan hak warga negera lainnya.Â
Setelah penjemputan itu, atas pertimbangan bahwa dia sudah punya istri, ayah tidak pernah lagi menyampaikan pendapatnya itu. Kalau pun ia berkeluh kesah soal ketidakadilan, relatif yang ringan-ringan saja. Biasanya soal-soal kehidupan sosial saja.
Tandika khawatir, jangan-jangan tabiat ayah kambuh lagi. Ini kan tahun politik. Tahun yang sangat sensitif menyinggung soal-soal pelanggaran hak azasi orang hidup.
"Jangan-jangan ayah dijemput?"
Tandika meraih ponselnya. Ia bermaksud mengingatkan ibu, agar berpikir hal yang masuk akal saja. Tandika mau bilang sama ibu, jangan-jangan ayah diamankan oleh yang berwajib.
Tidak ada yang mangangkat panggilan Tandika. Karena memang ibu dan beberapa orang kerabat mereka sedang mempersiapkan segala sesuatunya untuk membujuk orang bunian yang menculik ayah, agar mereka mau melepas ayah.