Mohon tunggu...
RANTO NAPITUPULU
RANTO NAPITUPULU Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Otodidak

Saya bukan sastrawan. Hanya seorang penulis otodidak yang suka bercerita tentang banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Menunggumu di Ladang Kubis

18 Januari 2024   18:31 Diperbarui: 18 Januari 2024   19:27 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DUA bulan kulalui di dalam penjara, aku semakin sering teringat kepadamu. Aku bertanya-tanya, siapakah kau sesungguhnya. Kupikir, jika kau memang ada, kau pasti mengetahui kejadian itu. Kau pasti tahu juga, bahwa aku telah dipenjarakan. Diganjar hukuman delapan tahun penjara. Kukira, wajar saja kalau kau datang menjengukku. Dan itu sangat kuharapkan. Kunanti dari hari ke hari. Tetapi kau tak pernah datang.

Tidak mengapa. Sebab memang aku bukan siapa-siapa bagimu. Kita hanya saling mengenal lewat tulisan-tulisan pendek saja. Aku bisa maklum. Jangankan kau. Mereka, yang sudah lama mengenalku pun, tidak pernah datang menjengukku. Mungkin mereka takut disebut sebagai orang yang telah berteman dengan pembunuh. Atau mungkin mereka takut tidak dapat masuk sorga karena mengasihi seorang pembunuh.

Pada sidang pembacaan putusan, hakim mengatakan bahwa aku bukan sedang menunggumu di ladang kubis itu. Tetapi sengaja datang ke situ untuk membunuh lelaki itu. Mereka, orang-orang yang sudah lama mengenalku itu, tidak sedikit pun keberatan dengan putusan hakim. Andai saja mereka keberatan, mungkin aku tidak dihukum sampai delapan tahun.

Aku tidak membunuh lelaki itu. Sungguh! Ia terjerembab sewaktu ia berusaha melukaiku. Dan pisau di tangannya itu terhunjam sendiri ke dadanya saat ia terjerembab. Bilah pisau itu menjadi ada di genggamanku, itu karena aku mencabut pisau itu dari dada lelaki itu. Aku bermaksud hendak menolongnya.

"Datanglah. Tunggu aku di ladang itu," begitu jawabanmu, waktu aku bertanya lewat pesan pendek, apakah aku bisa menemuimu. Andai saja handphoneku tidak berkecai-kecai diinjak-injak oleh penduduk desa waktu itu, jawabanmu waktu itu bisa kuajukan sebagai bukti.

Begitulah. Hidup sebagai tahanan di dalam penjara memang sangat hina. Tahun-tahun berjalan seperti kura-kura. Ketika malam tiba, hidup seperti ada di atas perahu yang hendak karam di tengah lautan. Gelap menyergap. Tubuhku hendak pasrah, tetapi ruh dan jiwaku memberontak. Belum sedia mati tenggelam, tak berkubur tak bertanda.

Katika pagi datang, kembali aku bersihadap dengan jeruji besi dan tembok kokoh yang penuh dengan coretan-coretan. Penggalan-penggalan puisi, juga kata-kata makian yang ditulis tanpa aturan. Kadang ingin kuhapus coretan-coretan itu. Ingin kuganti dangan kata-kata yang ada di benakku. Rasanya makian-makian itu terlalu santun untuk hal yang tidak adil.

Pada tengah hari, saban hari, suara-suara keras berisikan teriakan-teriakan cabul akan terdengar dari blok sebelah, atau dari sel yang ada di blok paling ujung. Sesekali aku mau terpancing untuk meneriakkan makian-makian tanpa alamat. Atau berteriak sekadar melepaskan rasa yang menyumpal di dada.

Memasuki tahun kelima, hari-hari yang kulalui terasa tidak begitu lamban lagi. Mungkin, karena aku telah mengisi hari-hariku dengan cara menyibukkan diri, menyusun potongan-potongan cerita tentang kita. Potongan-potongan cerita itu kutuliskan satu demi satu di benakku. Tidak begitu sempurna memang. Tetapi setidaknya, selain hari-hariku bisa terisi, aku bisa berbangga hati, ternyata kemampuanku menjalin kata demi kata masih tersisa. Pesan-pesan pendek yang kau kirimkan itu, satu demi satu kurajut, kujadikan ratusan kalimat

Pernah kau katakan, bahwa kau ingin merdeka di tanahmu sendiri. Bebas memilih tambatan hatimu. Kau katakan juga, lelaki yang pantas mendampingimu adalah lelaki yang sepenuh hatinya mencintaimu, dan kau pun mencintainya sepenuh jiwamu. Kau tak menginginkan lelaki yang mencintaimu sepenuh hati tetapi engkau tak mencintanya sepenuh jiwamu. Itu beberapa kali kau tuliskan.

Pernah juga kau tuliskan, bahwa kau sangat menghormati bapa dan nandemu. Kau tuliskan waktu itu, bahwa kau tidak keberatan jika bapa dan nandemu yang memilihkan pendamping hidupmu, asalkan orang yang dipilihkan itu adalah lelaki yang mencintaimu sepenuh hatinya, dan kau pun mencintainya sepenuh jiwamu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun