Mohon tunggu...
Ranting Kering
Ranting Kering Mohon Tunggu... -

Its seem impossible until its done

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Semua Bermula dari Federasi, Liga, dan Klub

13 Desember 2013   11:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:58 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertandingan Indonesia vs Thailand yang menghasilkan skor sangat meyakinkan bagi pihak lawan, 1-4,sebenarnya sudah banyak diduga oleh pecinta sepakbola Indonesia. Supporter Indonesia saat ini berada dalam suasana ambigu antara sikap nasionalis dan realistis. Sebagai orang Indonesia saya harus optimistis terhadap perjuangan 11 anak muda di Myanmar. Sementara sebagai penggila bola saya harus melihat fakta bahwa tim itu tidak dihasilkan dengan alur yang sebenarnya.

Fakta 10 tahun terakhir sangat jelas bahwa Indonesia tidak akan pernah menghasilkan tim juara untuk level ASEAN sekalipun. Ada begitu banyak variable tim juara yang tidak menyertai tim yang dibentuk atas nama Indonesia. Dimulai dari federasi yang mengurus regulasi sepakbola, liga sebagai kancah penempaan pemain, infrastruktur hiangga lingkungan yang memungkinkan sepabbola berkembang dengan baik. Semua variable itu sangat jauh dari posisi ideal dan cenderung mengalami degradasi berkelanjutan.

Sepakbola Indonesia tidak akan pernah mencapai prestasi membanggakan sejauh federasi dikelola oleh politisi yang mencampuradukan semua kepentingan dalam wadah itu. Pengelolaan organisasi sebagai ajang mencari popularitas dan dikelola ala politisi mengelola partai politik bukanlah kondisi ideal. Faktanya pengurus PSSI begitu sering mengangkangi regulasi yang mereka buat sendiri, mengesampingkan organisasi induknya (AFC dan FIFA) serta mempraktekan perilaku buruk politisi dalam pengelolaan federasi. Singkir menyingkirkan menjadi hal yang lumrah bagi mereka meski itu menjijikan bagi orang yang waras diluar. Dendam lebih menonjol dibandingkan spirit fairplay yang merupakan ruh sepakbola.

Liga sebagai kawah candradimuka pemain dikelola sangat buruk oleh mereka yang merasa hebat dan paling paham sepakbola. Dimulai dari penentuan peserta liga dan verifikasi yang penuh kejanggalan hingga klub sepakbola yang tidak berkeinginan untuk professional. Syarat peserta liga ditarik ulur berdasarkan kepentingan klub pendukung pengurus federasi dan jauh dari aspek keadilan. Regulasi diterapkan dengan standar ganda tanpa rasa malu dan menganggap masyarakat tidak paham atas olah raga yang digemari.

Tim nasional yang kuat selalu dimulai dari federasi yang solid serta bebas kepentingan golongan tertentu. Federasi yang menegakan aturan yang dibuatnya sendiri dan menganut fairplay secara kafah. Tim nasional bermental juara selalu dihasilkan oleh liga dengan standar professional dan bersih dari manipulasi. Pemain hebat ditempa oleh tim yang professional dan menghargai hak-hak pemain dengan baik. Pemain bermental juara diturunkan dari pemimpin yang bermental baik, tidak korup dan merangkul semua golongan.

Melihat perkembangan sepakbola Indonesia saat ini, sungguh saya harus optimis sebagai WNI namun juga pesimistis sebagai pecinta bola. Tim U19 saat juara AFF dan lolos ke AFC Cup dengan mengalahkan Korea Selatan adalah tim yang tumbuh tanpa sentuhan klub dan federasi secara dominan. Namun melihat tabiat pengurus PSSI, BTN dan CEO Liga Indonesia yang sama dengan era Nurdin Halid dan mementingkan kepentingan kelompok, saya harus bersikap pesimistis.

Meski Italy juara dunia 2006 disertai skandal calciopoli, namun variable syarat juara dipenuhi dengan baik. Spain 2010 dan UEFA 2012 adalah contoh paling dekat terhadap semua variable menjadi juara sejati. Liga professional yang jauh dari manipulasi, klub hebat dan federasi yang berkompeten. Jepang dan Korea Selatan mulai menggeliat dengan menaikan semua syarat yang ada secara benar.

Indonesia? Selama PSSI dipegang oleh siapapunyang berperilaku seperti Djohar, semua Exco saat ini, La Nyala dan Djoko Driyono, yakinlah kita tidak akan pernah menjadi juara di level ASEAN sekalipun. Bahkan bila pelatihnya Pep Guardiola dan Messi dinaturalisasi dan bermain sebagai striker bagi Indonesia. Teman, tidak perlu menunggu waktu lebih lama, saatnya sudah tiba untuk membersihkan sepakbola dari anasir-anasir bebal dan berharap memiliki tim nasional yang hebat setelahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun