Sejumlah daerah di dunia mengalami peningkatan prevalensi terjadinya bencana. Menurut data Centre for Research on the Epidemiology of Disaster (2017), gempa bumi merupakan salah satu dari lima jenis bencana yang paling sering terjadi di dunia, dengan prevalensi mencapai 16% dari total kejadian bencana. Pada tahun 2017, gempa bumi secara global berdampak pada 95,6 juta jiwa dan menyebabkan 9.697 korban jiwa (Sangkala & Gerd, 2018). Indonesia berada di posisi rawan terjadinya bencana, salah satunya gempa bumi (Yuliani, 2021). Posisi Indonesia terletak di antara pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Laut Filipina. Interaksi antara keempat lempeng ini menyebabkan frekuensi gempa bumi di Indonesia tergolong tinggi (Sabtaji, 2020).
Gempa bumi memiliki berbagai dampak, baik terhadap lingkungan, fisik, sosial, maupun psikologis individu. Dampak terhadap lingkungan yang ditimbulkan yaitu perubahan pada permukaan bumi, topografi, dan kerusakan pada sarana dan prasarana lingkungan (Bahri, 2022). Tidak hanya berdampak pada lingkungan, gempa bumi juga berdampak pada individu. Individu yang selamat dari bencana atau bahaya yang mengancam keselamatan nyawa. Penyintas terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa, bahkan lansia. Para penyintas gempa bumi mengalami berbagai perubahan psikologis. Perubahan psikologis ini dapat menjadi suatu gangguan yang serius jika tidak ditangani dengan segera. Gangguan psikologis yang dapat terjadi yaitu gangguan kecemasan, depresi, dan insomnia pasca trauma. Kondisi ini yang dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya dalam jangka waktu yang lama (Cabella & Rasminto, 2022).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa PTSD merupakan gangguan yang sering terjadi pada penyintas gempa bumi. Berdasarkan DSM V, PTSD termasuk pada Trauma and Stressor related disorder, dimana timbulnya gejala khas setelah individu mengalami peristiwa traumatis (APA, 2013). Menurut Sutan (2017), peristiwa traumatis seperti gempa bumi dapat memicu berbagai masalah kesehatan mental, termasuk PTSD. Penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara PTSD dengan sejumlah faktor, seperti usia, jenis kelamin, strategi coping dan efikasi diri. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi kerentanan individu terhadap PTSD.Â
Kelompok rentan merupakan kelompok masyarakat yang berisiko tinggi terhadap ancaman karena kurangnya kemampuan untuk mempersiapkan diri (Siregar & Wibowo, 2019). Kelompok rentan ini mencakup anak-anak, wanita, ibu yang sedang mengandung atau menyusui, penyandang disabilitas, dan lansia. Anak-anak merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap gejala kecemasan hingga PTSD (Thoyibah et al., 2019). Selain itu, lansia juga merupakan kelompok rentan terhadap dampak psikologis gempa bumi. Lansia cenderung mengalami kecemasan, depresi, dan PTSD (Mutianingsih & Mustikasari, 2019). Penelitian oleh Rohmah et al. (2023) mengungkapkan bahwa mayoritas penyintas gempa bumi mengalami PTSD yang disertai dengan gangguan tidur, kecemasan, dan depresi. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan psikologis pasca gempa tidak hanya beragam tapi juga saling berhubungan dan dapat memperparah kondisi kesehatan mental secara keseluruhan. Kondisi ini menggambarkan dampak jangka panjang dari gempa bumi terhadap kesehatan mental bagi para penyintas.
Selain PTSD, banyak penyintas gempa bumi yang juga mengalami kecemasan atau anxiety. Kecemasan merupakan pengalaman subjektif yang dialami individu, berupa perasaan takut, kekhawatiran berlebihan, atau kesulitan menghadapi situasi, baik yang bersifat realistis maupun tidak realistis, yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan (APA, 2013). Penelitian oleh Gerstner et al. (2020) dan Pangaribuan et al. (2023) mengungkapkan bahwa penyintas gempa bumi yang rentan terhadap anxiety juga berisiko lebih tinggi untuk melakukan bunuh diri.
Setiap individu memiliki tingkat kecemasan yang berbeda karena berbagai faktor. Tingkat kecemasan dipengaruhi oleh faktor usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pengalaman ketika gempa bumi terjadi. Dibandingkan laki-laki, perempuan cenderung lebih rentan terhadap kecemasan karena perempuan cenderung lebih sensitif, sedangkan laki-laki cenderung lebih aktif dan gemar bereksplorasi (Thoyibah et al., 2020). Penelitian Dwidiyanti (2018) juga mendukung temuan ini, dengan menyebutkan bahwa perempuan cenderung lebih sering memikirkan tentang bencana dan memiliki keterikatan emosional yang lebih kuat dibandingkan laki-laki.
Kecemasan yang dialami para penyintas dapat disebabkan oleh pengalaman tidak menyenangkan saat terjadinya gempa, seperti kehilangan rumah atau cedera. Pengalaman traumatis dan ketidakmampuan untuk sepenuhnya memahami atau mengatasi kejadian tersebut membuat individu menjadi lebih rentan terhadap gangguan kecemasan yang berkelanjutan. Â Tingkat keparahan gangguan kecemasan dapat bervariasi dari ringan hingga sedang, dan dapat bertahan bahkan beberapa bulan setelah kejadian gempa bumi. Kecemasan juga akan berpotensi lebih parah pada kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia.
 Depresi merupakan salah satu dampak psikologis yang dialami oleh korban gempa bumi (Mutianingsih & Mustikasari, 2019). Depresi merupakan permasalahan mental yang ditandai dengan hilangnya ketertarikan pada aktivitas yang biasanya dilakukan dan merasakan kesedihan secara terus-menerus (APA, 2013). Penelitian Sharma et al. (2021) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat paparan gempa bumi dengan prevalensi gejala depresi yang mencapai 43,2% di kalangan pemuda setelah empat tahun pasca gempa bumi. Hal ini sejalan dengan penelitian Demirchyan (2022) yang mengemukakan bahwa tingginya prevalensi depresi di antara korban pasca gempa selama dua dekade setelah gempa bumi terjadi.
Salah satu faktor penyebab depresi ini adalah kurangnya tingkat pengetahuan individu. Kurangnya tingkat pengetahuan individu terkait sikap dalam menghadapi bencana gempa bumi yang terjadi secara mendadak menyebabkan individu rentan mengalami depresi. Faktor penyebab depresi ini juga mempengaruhi kerentanan individu. Pada penelitian oleh Gao et al. (2019), penyintas bencana gempa bumi dengan rentang usia 18 tahun masih mengalami depresi karena pengalaman gempa bumi yang mengguncangnya. Gejala depresi lebih tinggi pada lansia penyintas gempa bumi karena lansia merupakan kelompok rentan (Liang, 2016).