“Lebih enak ini lah (ojek online). Sudah murah, aman, tidak ada pengemis dan penggamen nakal, dan yang paling penting menurut aku tidak ada akal-akalan tarif. Tarifnya sesuai dengan yang dari pusat,” kata Yani, seorang Mahasiswa.
Beberapa hari yang lalu masyarakat dikejutkan dengan kisruh demo supir taksi akan keberadaan moda transportasi online. Ada yang menganggap bahwa kemunculan mereka mengakibatkan menurunnya omset pendapatan mereka. Ini diaminkan pula oleh Supriyadi, salah satu supir taksi.
“Biasanya dapat sehari bisa lebih dari satu juta, ini malah berkurang jauh.”
Di era digitalisasi ini, masyarakat dalam segala urusannya semakin dimanjakan. Segala hal dapat diselesaikan dengan cepat dan murah; bahkan bisa langsung sampai di depan rumah masing-masing, hanya dengan duduk dan bermodalkan smartphone. Segala hal dapat diselesaikan secara online lewat jaringan internet.
Hal ini juga yang memicu lahirnya transportasi online. Kemunculan moda transportasi berbasis daring (online) bagaikan oasis yang menyejukkan para pengguna transportasi umum. Begitu menjamin kenyamanan karena dari sebuah aplikasi smartphone, seseorang saat itu juga dapat bepergian. Yang paling memanjakan adalah konsumen dapat mengetahui tarif yang dikenakan padanya sesuai jarak, sebelum melakukan persetujuan dan tarif itu berlaku sampai si konsumen tiba di tempat yang dituju. Jadi jika konsumen setuju maka ia akan menuju ke administrasi selanjutnya, tapi jika tidak maka ia berhak membatalkan pemensanan.
Selain itu, keamanan setiap orang dapat dijamin karena setiap supir dibekali dengan helm dan masker (untuk ojek) dan semua kendaraan mereka dalam kondisi bagus dan layak jalan. Ini ditambah lagi dengan fitur dimana konsumen dapat memberi penilaian terhadap driver yang mengantarnya berupa “bintang” yang rentangnya antara satu (buruk) sampai lima (bagus sekali). Jika diibaratkan makanan, menu jasa tranportasi online ini pun tidak hanya itu. Mereka juga punya jasa kurir yang beroperasi dalam kota dan siap mengantarkan barang sampai di depan rumah.
“Lebih enak ini lah (ojek online). Sudah murah, aman, tidak ada pengemis dan penggamen nakal, dan yang paling penting menurut aku tidak ada akal-akalan tarif. Tarifnya sesuai dengan yang dari pusat,” kata Yani, seorang Mahasiswa.
Tambah Yani, dulu ia sering naik angkutan kota dan kopaja. Namun salah satu masalah yang paling menggagunya dan membuat akhirnya beralih adalah kenyamanan dan keamanan dalam berkendaraan umum.
“Di Jakarta Utara apalagi. Paling malas kalau naik metromini, kopaja atau angkot yang lain itu banyak tukang minta-minta dan pengamen yang suka memaksa minta uang. Kalau tidak dikasih, malah mengancam. Aku yang cewek kan takut. Mana nunggu-nya lama. Belum lagi sopir kadang balap, kadang pelan sekali. Makanya sering hampir terlamabat ke kampus. Kadang ada kasus penculikan. Mau naik taksi, sopirnya main-main argo. Sengaja ambil jalur yang jauh supaya bayarannya bertambah. Terus kalau kita tanya, alasannya ‘Saya hanya tahunya jalan ini, mbak.’ Makanya, bersyukur sekali ada Transjakarta, Gojek, Grab, dan Uber. Namanya Mahasiswa pasti carinya yang murah dan cepat.”
Keberadaan transportasi umum bukan hanya sekedar untuk “antar-jemput” pengguna. Lebih dari itu, bagaimana tranportasi umum dapat membuat seseorang mengurungkan niatnya untuk menggunakan bahkan membeli kendaraan pribadi. "Transportasi online yang saat ini berkembang merupakan implikasi dari pemerintah tidak dapat menyediakan sarana transportasi umum yang layak dan murah bagi masyarakat," kata Tulus Abadi, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang dikutip dari laman antaranews.com 18 Maret 2016. Penurunan omset jasa angkutan umum yang lain harusnya menjadi bahan evaluasi tentang mutu jasa mereka.
Perlu dilihat apakah sistem yang dipakai selama ini sehat atau tidak bagi konsumen. Jangan hanya menuntut hak untuk dibayar tetapi juga harus memenuhi kewajiban untuk memberikan pelayanan yang bagus. Masalah ini juga sebagai bukti bahwa sekarang di Indonesia, persaingan bukan hanya soal murah-mahalnya suatu produk (bandingkan tarif amgkot dengan grabcar), tetapi soal mutu dan kenyamanan. Di zaman ini, konsumen bukan lagi dilihat sebagai objek, tetapi harus dilihat sebagai subjek, sebagai teman. Ketika uang mereka keluarkan, maka pada saat yang sama mereka juga menuntut hak mereka untuk memperoleh mutu yang bagus dari produk tersebut. Jika tidak, “marah-marah” atau demo hanya sebuah pemborosan energi saja.
Oh ya, sedikit berkomentar untuk aksi demo beberapa hari yang lalu:
Jangan salah sasaran kalau ingin protes, ya? Lihatlah pusat dari masalah yang sebenarnya, baru protes. Karena kalau tidak, kalian hanya dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang diam-diam tertawa di belakang kalian.
Jakarta, 27 Maret 2016
RANO TANGKE
... dan angin yang berhembus dari danau Sunter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H