Satu kata yang mudah diucap tapi susah untuk dilakukan yaitu membaca. Kata ini sebenarnya tidak asing lagi bagi kita yang bergelut dibidang pendidikan. Namun seringkali membaca menjadi momok bagi sebagian besar civitas akademik pendidikan.Padahal bagi civitas akademik, baik itu guru maupun siswa memiliki kewajiban normativeuntuk melakukan kegiatan membaca. Mengapa membaca disebut sebagai kewajiban normative?
Jawabannnya sangat sederhana, sebab dengan membaca kita menjadi paham akan apa yang tertuang dalam buku. Kita jadi mengerti dan wawasan menjadi lebih luas. Sebagai seorang guru kita akan lebih paham akan ilmu yang akan kita transferke siswa. Tidak ada keraguan pada saat kita mentransfer ilmu bila kita telah benar-benar memahami materi yang telah kita baca. Jadi kata kuncinya adalah membaca.
Demikian pula bagi siswa dengan membaca mereka akan memahami materi yang telah diperoleh. Saya pernah menanyakan materi yang telah diajarkann ke siswa, tetapi mereka tidak mampu menjawabnya. Setelah saya beri waktu beberapa saat untuk membaca, selanjutnya saya tanya dengan pertanyaan yang sama akhirnya mereka bisa. Sekali lagi kata kuncinya adalah membaca.
Mengapa budaya membaca dilingkungan sekolah masih begitu rendah? Saya mencoba mengupasnya dalam sudut pandang kebutuhan. Membaca menjadi tidak begitu penting dan berarti ketika budaya membaca belum menjadi satu kebutuhan.
Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan dasar terhadap informasi.Pada saat kita membaca, transfer ilmu perlahan tapi pasti akan masuk ke otak kita. Jutaan sel-sel saraf (neuron) yang menuju keotak berupaya untuk mentransfer informasi-informasi yang kita baca ke otak untuk kemudian direkam dan dimasukkan ke dalam memori jangka pendek maupun dalam memori jangka panjang. Hal itu dimaksudkan pada suatu saat bila informasi itu dibutuhkan dapat dimunculkan kembali, baik itu jangka pendek maupun untuk jangka panjang!
Rangsangan (stimulus) yang telah diterima otak menjadikannya tergantung untuk menerima kembali rangsangan (stimulus) dari aktivitas membaca tadi. Disinilah mulai muncul suatu kebutuhan.
Seorang siswa mendapat nilai ujian yang jelek sebab malamnya dia tidak belajar (baca: membaca), respon yang diterima otak menyatakan bahwa ada satu kebutuhan yang tidak dicukupi yakni tidak adanya informasi yang harus dimunculkan untuk menjawab soal-soal tadi. Mengapa tidak ada informasi yang dimunculkan? Hal itu terjadi karena dia tidak membaca, sehingga memori otaknya tidak ada rekaman informasi yang seharusnya dimunculkan.
Budaya membaca dan perkembangan otak merupakan satu kesatuan yang erat. Mereka bagaikan mata pisau dan pengasahnya. Bila otak kita samakan dengan mata pisau dan membaca sebagai pengasahnya, maka semakin sering kita asah mata pisau semakin tajam, namun sebaliknya bila kita tidak pernah mengasahnya lama-kelamaan akan tumpul.Hal itu berlaku juga bagi otak kita. Semakin sering kita gunakan membaca Insya Allah semakin cerdas otak kita. Semakin banyak informasi-informasi yang terekam, sehingga sangat mudah kita memunculkan informasi-informasi itu kapanpun.
Budaya membaca dan perkembangan otak juga masih sejalan dengan gagasan yang disampaikan oleh J.B De Lamarck yang menyatakan “organ yang sering digunakan akan mengalami perkembangan dan organ yang jarang digunakan akan mengalami kemunduran (rudimenter)”. Artinya bahwa otak kita akan bertambah besar kemampuan memahami suatu bacaan manakala sering-sering digunakan membaca dan sebaliknya otak kita terasa berat bahkan mungkin semakin malas untuk membaca bila jarang-jarang bahkan tidak pernah dipakai untuk membaca. Jadi mari kita budayakan kepada anak didik kita untuk menjadikan mereka rajin membaca. Setiap tatap muka dalam proses pembelajaran kita beri mereka kesempatan untuk membaca. Sebab pernah saya tanya mereka, apakah tadi malam kalian sempat membaca? Dengan jujur mereka kompak menjawab; Tidak!!!
Kalau di kompasiana ini saya sangat yakin para kompasioner merupakan para ahli dalam hal baca-membaca. Bagaimana tidak, lha wong tiap ada tampilan artikel baru yang muncul dan menarik pasti akan dibaca, lebih lanjut para kompasioner ini semuanya mampu menuangkan ide-ide hebatnya lewat tulisan. Maka pastilah semua para kompasioner bilang Membaca, Kenapa Takut? Namun tidak demikian para pelajar kita, ada di antara mereka tentunya akan menyampaikan, Membaca... Saya Takut!!!
Nono Purnomo
Selasa, 12 Mei 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H