Tahun 2013 lalu, saya bersama tim melakukan penelitian untuk memeriksa unsur-unsur kritikal dalam jaringan penyelundupan manusia. Penelitian dilakukan di Selat Malaka, mengambil lokasi di beberapa pusat aktivitas penyelundupan di perbatasan Indonesia dan Malaysia. Tujuannya adalah untuk menghasilkan solusi guna menanggulangi masalah-masalah keamanan negara yang ditimbulkan oleh penyelundupan manusia. Proses untuk sampai ketujuan itu sangat rumit, lama dan berat tantangannya. Â Kami menghadapi kendala untuk bisa melanjutkannya. Namun demikian temuan-temuan yang diperoleh selama penelitian masih tetap relevan dan patut untuk disebarluaskan ke masyarakat luas.
Umumnya orang awam sulit membedakan antara praktek penyelundupan manusia (human smuggling) dan perdagangan manusia (human trafficking). Keduanya sama-sama mengandung unsur penipuan dan eksploitasi manusia.  Kebodohan dan  kemiskinan membuat orang-orang mudah masuk kedalam perangkap agen hingga mau diselundupkan untuk kemudian di jual ke pihak-pihak yang membutuhkan.Namun berbeda dengan perdagangan manusia, pada penyelundupan manusia tidak mesti proses yang terjadi seperti itu.  Â
Pada penyelundupan manusia unsur-unsur tindakan yang terpenting adalah sukarela, transaksional dan tidak sepenuhnya bersifat eksploitatif. Dalam prosesnya sudah terbentuk kesepakatan antara agen dan orang-orang yang menyelundup bahwa masing-masing akan bertanggungjawab atas keamanan diri sendiri. Tawar menawar biaya juga terjadi antar keduanya. Bila dikaitkan dengan konsep ekonomi maka penyelundupan manusia bisa dikatakan sebagai sebuah gejala supply demand.
Umumnya agen mengatakan bahwa keterlibatan mereka dalam jaringan penyelundupan manusia karena ada banyak permintaan dari  orang-orang untuk diselundupkan dan untuk mendatangkan uang. Memang benar ketika diperiksa dari sisi orang-orang yang menyelundup umumnya mengatakan bahwa mereka memilih jalan ini dengan sadar, tanpa paksaan. Alasan-alasan yang dikemukakan diantaranya yang terpenting karena tidak bisa menikmati hak-haknya secara wajar, tidak mampu membayar pelayanan yang legal, atau mengalami kendala untuk memenuhi syarat-syarat legal (biasanya berupa dokumen).  Mereka tidak merasa bahwa pilihannya keliru, meskipun tau jalan itu berbahaya, bahkan pada akhirnya juga meminta biaya yang mahal.
Kemiskinan dan kebodohan boleh jadi merupakan sebab, namun bukan itu yang terpenting pada penyelundupan manusia. Perubahan yang dramatis pada sebuah rejim, diskriminasi, penindasan, konflik etnik, agama, perang saudara dan perang antar negara merupakan rangkaian sebab naiknya permintaan untuk diselundupkan. Situasi keamanan yang rentan, dan ransangan-ransangan kekerasan menimbulkan kebutuhan pada kolektivitas dan individu-individu tertentu untuk menyelundup guna mendapatkan status sebagai pengungsi atau suaka. Dalam konteks-konteks ini orang-orang yang menyelundup tidak mesti datang dari keluarga miskin dan tidak terdidik. Sebagian bahkan memiliki status sebagai saudagar kaya di tempat asalnya. Mereka tidak memakai jalur legal karena berada dibawah ancaman, akibat perbedaan pandangan politik atau sedang dalam incaran aparat keamanan untuk ditangkap atau ditempatkan sebagai musuh di tempat asalnya.
Direktur Polisi Air (Polair) Polri Brigjen Iman Budi Supeno mengungkapkan, perairan Indonesia rawan menjadi sarana penyelundupan manusia, kebanyakan dari mereka berasal dari Pakistan dan Myanamar. [1] Pada awal tahun 2013 ditemukan sekitar 500 warga Rohigya yang nekad masuk ke wilayah Malaysia dengan cara berenang karena ancaman kekerasan di dalam negerinya.[2] Pernah pula dilaporkan adanya penyelundup yang masuk ke Indonesia karena merasa terancam oleh keberadaan kelompok teroris, Osama bin Laden.[3] Â Dalam rentang tahun 2010 hingga 2013 terjadi kenaikan yang bermakna pada aktivitas penyelundupan manusia ke Indonesia, umumnya orang-orang yang diselundupkan berasal dari kawasan perang, khususnya dari Timur Tengah, seperti Iran, Afganistan, dan Pakistan.
Maka dari sisi orang-orang yang menyelundup perlu dibedakan antara pengguna jasa  (customers) dan korban penyelundupan manusia (victims). Untuk yang pertama tujuan mengalahkan resiko, dan itu sudah disadari dan diketahui oleh para aktornya. Namun karena melihat kesempatan-kesempatan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik mereka mau menanggung akibatnya.  Dalam konteks yang kedua  situasinya agak berbeda. Mereka terdiri dari orang-orang yang sedang dalam keadaan tidak berdaya, terdesak, kadang juga dibawah ancaman. Pernah ditemukan mereka yang masuk keperairan Indonesia secara ilegal adalah warga negara Indonesia yang bekerja di Malaysia, dan sedang berusaha menyelamatkan diri dari kekerasan dan penindasan di Malaysia. Mereka diselundupkan dari Semenanjung Malaysia ke Dumai tenggelam di sekitar Port Dickson, wilayah negara bagian Negeri Sembilan, 14 orang dinyatakan tewas, 7 orang selamat, tidak ditemukan passport pada para korban.[4]
Umumnya negara-negara yang menghadapi masalah penyelundupan manusia memakai pendekatan kedaulatan negara sebagai landasan  untuk melakukan penghukuman. Dengan pendekatan ini orang-orang yang diselundupkan dihadapkan pada kebijakan keamanan militer, sama seperti aktor kejahatan lintas batas lainnya, seperti  penyelundup barang-barang  berbahaya dan terorisme. Pilihan tindakan ini  telah menimbulkan isu baru berupa tanggungjawab kemanusiaan dari sebuah negara. Penghukuman secara militer juga bisa menimbulkan masalah lain berupa klaim-klain kedaulatan dari negara yang berbatasan. Kasus antara Indonesia dan Australia bisa menjadi ilustrasi. Australia di bawah kepemimpinan Perdana Mentri Tony Abbot dipandang oleh Indonesia telah mengambil sebuah keputusan dramatis, dengan mengusir paksa kapal-kapal nelayan yang membawa pencari suaka dan pengungsi agar masuk kembali ke perairan Indonesia untuk dibantai secara militer. Tujuannya tentu saja agar mereka bisa lepas tangan karena kejadiannya di perairan Indonesia.
Pada penyelundupan manusia juga perlu dibedakan menyelundup karena tidak memiliki pilihan atau keterpaksaan (necessity model)  dan menyelundup  atas dasar kalkulasi rasional atau aksi yang terencana (rational model). Pada model  yang pertama menyelundup lebih sering berkaitan dengan situasi-situasi ancaman, penipuan, dan pemerasan. Sedangkan pada model yang kedua merupakan pilihan sadar, disengaja dan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang sudah diperhitungkan sebelumnya.
Dari sisi pengelola juga terdapat beragam sifat pada organisasi penyelundupan manusia. Ada yang tidak teroganisir, setengah teroganisir, namun ada pula yang sudah membetuk sebagai perusahaan dengan pelibatan agen-agen yang bertingkat dengan aturan main yang stabil. Kami menyebutnya organized human smuggling. Pada jaringan yang terorganisir kapal-kapal yang digunakan untuk mengangkut tidak lagi hanya berupa tongkang atau kapal nelayan sederhana. Kapal-kapal besar milik perusahaan legal juga di gunakan dengan membayar sewa yang sangat tinggi. Jaringan penyelundup jenis ini sudah memiliki pelanggan biasanya orang-orang yang ingin bekerja di kawasan industri,  perkebunan, pertambangan atau jenis usaha yang besar–besar lainnya yang bersedia menerima tenaga kerja ilegal.