Ada setan yang berbisik kepada saya, ia menyuruh saya untuk berbohong. Maka saya pun berbohong. Saya pikir tak apalah saya ikutin kemauan setan kali ini. Dengan situasi yang saya hadapi sekarang, bagaimana pun jalan terbaik memang sepertinya berbohong. Setan benar. Ia pun tersenyum.
Setan itu berbisik lagi pada saya. Kali ini ia menyuruh saya untuk marah. Saya pun marah. Kenapa tidak? Rasanya semua orang yang mengalami hal seperti yang saya alami kali ini pun pasti akan marah. Setan benar. Kini ia tertawa.
Kali ini setan itu berbisik lagi pada saya. Ia meminta saya untuk  bergunjing. Ini tentang teman saya yang aneh. Aneh kelakuannya juga aneh fisiknya. Tak apalah, toh teman-teman saya yang lain pun bergunjing tentang dia, saya pun ikutan. Setan benar. Ia pun merasa bangga.
Kemudian setan itu berbisik lagi pada saya. Sekarang ia meminta saya untuk memukul anak saya. Anak saya yang sudah mencoret-coret seluruh tembok dan lemari, juga merobek buku-buku yang ada di rak. Bagaimana pun sikapnya sudah keterlaluan. Maka tangan saya pun melayang... hampir kena. Tapi kemudian saya melihat senyum gembira anak saya. Ia menunjuk hasil coretannya di tembok dan lemari dengan bangga. Ia berceloteh dengan bahasa balita-nya yang belum terlalu jelas,
"Unda.. unda.. tuh ikang! Nih, kapang tebang." (Bunda..Bunda itu ikan! Ini kapal terbang) katanya dengan bangga, sambil menunjuk coretan-coretan yang sebenarnya tak jelas bentuknya dan robekan kertas yang ia terbang-terbangkan di udara. Saya pun termenung. Tangan saya yang hampir mengenai pantatnya terhenti. Apakah setan benar? Apakah kali ini ia benar? Bukankah selama ini saya selalu mengikuti keinginan sang setan? Apakah ia memang pernah benar?
Saat itu, andai saya tak berbohong. Mungkin sampai sekarang saya tak perlu menutup-nutupi kebohongan saya dan selalu merasa bersalah. Saat itu, andai saya tak marah, mungkin saya masih berteman dengan teman-teman saya. Saat itu, andai saya tak bergunjing tentangnya, teman saya akan merasa lebih bahagia dan saya lebih dipercaya olehnya.
Saat ini, jika saya jadi memukul anak saya, apakah yang akan terjadi dengannya? Apakah ia bisa berkembang menjadi anak yang kreatif, jika saya tidak mendukungnya? Apakah ia akan menjadi anak yang santun, jika saya sudah mengajarkan kekerasan terhadapnya? Apakah ia akan menjadi anak yang percaya diri, jika saya tak percaya dengan kemampuannya?
Rasanya tidak. Jadi, apa arti do'a-do'a saya untuknya. Untuk anak saya. Jika saya tidak mencontohkan sesuatu yang baik baginya? Apa arti harapan-harapan saya baginya, jika saya pun tidak mendukungnya?
Kali ini setan salah. Bahkan ia memang selalu salah. Saya lah yang selalu membenarkan bisikannya. Saya lah yang selalu mencari pembenaran dari tindakan yang saya lakukan. Bahkan mungkin ini memang bukan salah sang setan. Karena setan itu sendiri adalah saya. Saya yang telah melakukan banyak kesalahan tapi percaya itu adalah hal yang benar.
Saya tak ingin menjadi setan. Saya tak sudi menjadi setan. Saya ingin menjadi manusia, yang selalu sadar bahwa setiap hal, setiap perbuatan, harus dipertimbangkan terlebih dahulu. Saya ingin menjadi manusia, yang bisa berkata dengan bangga. "Saya manusia baik. " Dan setan pun minggat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H