Mohon tunggu...
Ranna Babel
Ranna Babel Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Hy

Anak Pend. IT yang merangkap suka Sastra, Seni dan Nicholas Saputra.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kenapa Kemkominfo Tidak Tepat Menggunakan Sistem Kerja PNS

6 Agustus 2022   00:23 Diperbarui: 6 Agustus 2022   14:09 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu ini laman berita dan social media diramaikan oleh tindakan blokir platform oleh KEMKOMINFO, langkah tersebut merupakan bentuk penegakan aturan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat. Sampai saat ini kabarnya masih ada beberapa platform digital yang belum juga melakukan pendafataran, sehingga statusnya masih diblokir.

Langkah ini jelas gegabah, mengingat tidak sedikit platform yang diblokir adalah nyawa pekerja digital. Sebut saja salah satunya Paypal, Paypal adalah sebuah sistem yang memfasilitasi pembayaran hingga lintas negara. Banyak aplikasi-aplikasi yang hanya menyediakan paypal sebagai alat pembayaran, sehingga sistem ini sangat berguna bagi pengguna di Indonesia. Tetapi paypal saat ini dibuka sementara setelah dikecam agar pengguna bisa menarik dananya. Sikap ini saja menunjukkan dalam melakukan keputusan tidak mempertimbangkan aspek ini, menunggu diamuk dulu baru sadar ada dana penguna Indonesia disana yang tidak sedikit. Oke lupakan, meskipun kita berasumsi platform  tersebut pada akhirnya mendaftar, tapi apakah tidak aneh sebuah kebijakan jika harus dilandasi pemaksaan? Instagram, twitter, neflix dan beberapa aplikasi besar lainnya, kemarin melakukan pendaftaran setelah dilayangkan ancaman oleh Kominfo. Pertanyaanya kenapa semuanya harus diancam dulu baru mengiyakan? bukankah kebijakan yang baik jika kepatuhan itu dilandasi dengan kesadaran dan kemauan karena sama-sama menguntungkan. Jika dipaksa dulu, berarti ada yang keliru. Contohnya bayar pajak, sebesar apapun pasti orang-orang kaya, tanpa dipaksa pun akan taat bayar pajak. Karena tidak ada yang salah pada kebijakan itu.

Netizen bukan mendukung sebuah platform luar tidak taat aturan negara, tetapi hanya heran kenapa ada kebijakan yang tidak mempertimbangkan kemaslahatan dan mudharatnya? kenapa ada kebijakan yang terkesan memaksa dan memohon?

Karena keterbatasan pengetahuan, sehingga saya tidak akan menjelaskan lebih jauh kenapa kebijakan ini nampak begitu prematur, tapi saya akan mencoba menganalisa kenapa bisa KOMINFO selalu melahirkan kebijakan yang tidak sesuai realitas, rutin mengundang kontroversi.

Di Podcast Deddy Corbuzier, Menteri Kominfo Johnny G Plate telah melakukan klarifikasi, disinilah kita bisa melihat fakta bahwa tidak pahamya penentu kebijakan terhadap apa yang mereka putuskan. Bukti salah satu angan yang paling halu adalah ingin membuat sistem "Search Engine" yang bisa menyaingi Google, MasyaAllah. Optimis yang tidak sesuai kapasitas. Tidak salah, tapi kenyakinan itu saja sudah cukup Valid dalam mengukur jika mereka tidak paham bagaimana kompleksnya menciptakan produk IT sekelas Google, Tiktok Instagram dan aplikasi besar lainnya dibanding dengan mutu SDM dan sistem ketatanegaraan kita. Banyak platform tempat anak bangsa belajar mengembangkan skill-nya malah diblokir, ini memukul mundur perkembangan dunia digital di negara kita.

Dari semua kontroversi yang dilakukan KOMINFO, saya jadi terpikir kok bisa ada tenaga kerja yang seperti itu? kok seperti tidak profesional? kok tidak paham?. Sehingga dari analisa amatir, saya berasumsi bahwa KOMINFO sangat tidak tepat jika memakai sistem perekrutan dan sistem kerja PNS, kenapa? 

Pertama, dari perekrutan. Pegawai Kominfo sebagai instansi pemerintah, itu direkrut pelalui cara CPNS, melewati tahap administrasi, SKD dan SKB.  Tes pertama adalah seleksi kompetensi dasar, pada tahapan ini menguji pengetahuan dasar seseorang, baik pengetahuan umum, kebangsaan dan kepribadian. Sedangkan yang sudah spesialis IT belum tentu menguasai pengetahuan yang ada dalam SKD, sebab orang profesional, umumnya hanya memahami bidangnya saja, semakin ahli di bidanya, biasa semakin cuek atau kurang paham dengan keilmuan di bidang lain. Sehingga orang-orang yang kemungkinan besar hebat, tidak lolos di tahap ini. Jadinya apa? yang terfilter kemungkinan yang hebat saja di SKD, tetapi belum tentu sehebat itu dibidangnya. Tapi asumsi ini belum begitu kuat, hanya berdasarkan pengamatan pribadi saja.

Kedua, sistem kerja PNS, saya bukan PNS, tetapi kalau tidak salah PNS adalah pegawai yang terjamin tidak akan dipecat, terjamin dana pensiun. Pola kerja seperti ini sebenarnya tidak mendorong semangat belajar pegawainya untuk bisa beradaptasi dengan zaman. Padahal teknologi adalah sesuatu yang cepat berubah, sehingga jika seorang pegawai tidak memiliki dorongan kuat untuk belajar, yah begitulah jadinya, seperti yang terjadi sekarang, keluar kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai realitas, tidak sejalan dengan habit masyrakat yang tidak bisa lepas dengan dunia digital. Mereka e=pejabat-pejabat PNS, umumnya rata-rata yang sudah berumur, jadi wajar saja jika memang mereka tidak paham bagaimana dunia digital ini bekerja, gimana mau paham, mungkin pasword Facebooknya aja kadang lupa.

Dari beberapa artikel menunjukkan bahwa memang dalam sistem PNS, ada kegiatan pengembangan kompetensi, tetapi seperti yang dituliskan Machmudan Sadik, Senior Trainer di BPSDM Kementerian dalam Media Indonesia bahwa problematika pelaksanaan jenis pengembangan kompetensi pada pemerintah daerah kabupaten/kota selama ini didominasi oleh pengembangan kompetensi manajerial saja, dibandingkan kompetensi teknis dan kompetensi sosio kultural. Jadi, bagaimana mau makin jago kalau data hasil analisanya seperti itu.

Iya tapi kita asumsikan saja, kominfo juga rutin dalam melaksankan pengembangan semua jenis kompetensi. Tetapi, bukan lagi rahasia, bahwa kegiatan-kegiatan di lingkup pemerintah itu lebih ke formalitas semata,kalau semangat belajar rendah, tidak ada juga yang terserap baik. Nah, pertanyaanya bagaimana mendorong semangat belajar, adaptif dan haus akan pengembangan diri jika mereka sudah dapat jaminan di awal bahwa sampai tua dia udah gak usah pusingin gaji.

Permasalahan ini jelas bukan di lingkup KEKOMINFO saja, tetapi karena KOMINFO berhubungan dengan kebijakan teknologi dan dunia digital, makanya sangat fatal jika pegawainya tidak mengerti perkembangan industri gitital itu sendiri. Memang dari media menunjukkan, Kominfo juga membuka sistem tenaga kontrak, tetapi masalahnya bukan itu, apa artinya pegawai kontrak ini jika yang di atasnya, penentu kebijakan adalah orang yang tidak relate dengan kebiasaan generasi di bawahnya dalam memanfaatkan teknologi. Hasilnya tetap tidak sejalan. Lihat saja buktinya, salah satunya kebijakan PSE, atau ribuan aplikasi di instansi pemerintah yang tidak terpakai, padahal membuat itu pakai anggaran yang besar, tetapi yah begitulah kalau pekerjaan ditangani oleh orang yang profesional.

Meskipun urusan teknis bisa di lempar ke vendor, ke anak magang, pegawai kontrak dll tetapi, sekali lagi, jika pegawai atau pejawab eselonnya, atau si penentu kebijakan tidak mengerti perspektif dunia digital secara menyeluruh, hasilnya adalah kebijakan yang tidak relevan, ngaco.

Solusinya mungkin pemerintah bisa membuat sistem kerja yang berbeda khusus KOMINFO. Karena sekalipun jika kualitas pengembangan kompetensinya yang dimaksimalkan, saya masih pesimis jika sistem atau struktur kerja masih memakai pola yang biasanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun