Mohon tunggu...
Ranna Babel
Ranna Babel Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Hy

Anak Pend. IT yang merangkap suka Sastra, Seni dan Nicholas Saputra.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Penerapan Uji Plagiarisme yang Disalahartikan Pihak Universitas

8 Juni 2022   00:58 Diperbarui: 10 Juni 2022   14:41 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebelum menulis topik ini, saya butuh dua hari memikirkan judul yang tepat untuk menguraikan keresahan saya terkait uji plagiarisme ini, judul yang sekarang pun saya masih ragu ketepatannya apakah mewakili isi tulisan atau tidak. Jasi, mohon dibaca saja sampai selesai yah, hehe, kalau memang tertarik dalam dunia pendidikan.

Saat ini banyak kampus sudah mulai menerapkan uji plagiarisme untuk tugas akhir mahasiswa dengan menggunakan software berbayar. Software yang cukup terkenal dan dianggap paling efektif adalah "turnitin". Sebenarnya tujuan dari penggunaan uji plagiarisme ini sangatlah baik, yaitu menghindari plagiat oleh mahasiswa. 

Sebagaimana diketahui saat ini plagiat dikalangan akademisi kian marak. Safaria (2014) menyatakan bahwa plagiarisme merupakan perbuatan membajak kalimat di dalam tulisan orang lain yang kemudian diakui sebagai kalimat dari tulisan dirinya sendiri. 

Kalimat yang dibajak tersebut tidak mencantumkan sumber asli atau sumber awal dari tulisan yang dibuat, sehingga hal ini bisa disebut sebagai tindakan ketidakjujuran akademik.

Sekilas tidak ada yang salah dari pemanfaatan turnitin sebagai sistem yang menguji plagiasi karya tulis mahasiswa, tetapi yang menjadi masalah adalah cara kerja sistem tersebut dalam menyimpulkan plagiasi, tidak sesuai kaidah penarikan kesimpulan plagiasi sebagaimana aturan yang berlaku.

Dalam buku Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah, Felicia Utorodewo dkk. menggolongkan hal-hal berikut sebagai tindakan plagiarisme :

  1. Mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri,
  2. Mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri
  3. Mengakui temuan orang lain sebagai kepunyaan sendiri
  4. Mengakui karya kelompok sebagai kepunyaan atau hasil sendiri,
  5. Menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda tanpa menyebutkan asal-usulnya
  6. Meringkas dan memparafrasekan (mengutip tak langsung) tanpa menyebutkan sumbernya, dan
  7. Meringkas dan memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya masih terlalu sama dengan sumbernya.

Yang digolongkan sebagai plagiarisme:

  1. menggunakan tulisan orang lain secara mentah, tanpa memberikan tanda jelas (misalnya dengan menggunakan tanda kutip atau blok alinea yang berbeda) bahwa teks tersebut diambil persis dari tulisan lain
  2. mengambil gagasan orang lain tanpa memberikan anotasi yang cukup tentang sumbernya.

Yang tidak tergolong plagiarisme:

  1. menggunakan informasi yang berupa fakta umum.
  2. menuliskan kembali (dengan mengubah kalimat atau parafrase) opini orang lain dengan memberikan sumber jelas.
  3. mengutip secukupnya tulisan orang lain dengan memberikan tanda batas jelas bagian kutipan dan menuliskan sumbernya

Sedangkan yang terjadi di universitas yang memakai kebijakan uji plagiarisme ini umumnya mengambil kesimpulan merujuk 100% hasil software uji plagiarisme, padahal dalam aturan kepenulisan yang terbaca oleh sistem sebagai plagiat itu belum tentu kategori plagiat.  Untuk lebih jelasnya begini.

Dalam software uji plagiarisme cara kerjanya membaca kesamaan kalimat dengan yang ada di internet, jadi sistem tersebut akan tetap membaca semua kalimat yang serupa dengan yang ada dalam database internet. 

Padahal bisa saja kita sebagai penulis menggunakan kutipan langsung dari beberapa jurnal atau referensi online, mencantumkan sumber, tetapi tetap saja akan terdeteksi sebagai tindakan plagiasi, padahal jika merujuk dengan pernyataan Felicia Utorodewo dkk. selama penulis mengutip secukupnya dan mencantumkan sumber, itu tidak termasuk sebagai tindakan plagiat. Sangat aneh.

Masalah lainnya adalah, umumnya yang di uji plagiat adalah tugas akhir mahasiswa. Sebagaimana diketahui dalam penelitian kuantitatif ini, uraian penjelasannya, formatnya hampir-hampir sama, bahasanya sudah seperti template, seperti "Berdasarkan tabel di atas karaktersitik responden dst.. kalimat ini umumnya akan ada di penelitian kuatitatif dan karena adanya sistem uji plagiarisme mahasiswa dituntut parafrase ekstrim.

Sedangkan yang ingin diparafrase cuma penjelasan singkat dalam tabel yang artinya kalimat akan terputar di itu-itu saja, berbeda jika uraiannya secara kualitatif, ditambah tabel hasil spss pun juga bisa terbaca sebagai tindakan plagiat oleh software padahal faktanya sama sekali tidak melakukan plagiasi. 

Singkatnya begini, misalnya dalam penelitian kuantitatif, uraian metode penelitian dan penguraian hasil spss itu kalimatnya sudah seperti template, karena menguraikan data dengan menggunakan teknik analisis yang sama, sehingga tata bahasanya pun sudah cukup umum seperti "Jenis penelitian ini adalah, populasi dalam penelitian ini adalah...". 

Kalimat-kalimat seperti itu jelas tidak termasuk tindakan plagiat, tetapi sistem uji plagiarisme akan membaca kalimat tersebut sebagai plagiat sebab sudah banyak sekali miripnya yang ada di internet dan itu jelas menambah angka persentasi plagiat. Ini jelas masalah krusial.

Harusnya kampus menggunakan admin untuk menyesuaikan kembali kalimat-kalimat yang harusnya di beri tanda agar tidak ikut terbaca oleh sistem, karena sistem tidak memiliki kemampuan memilah mana yang sesuai prosedurdan tidak, sistem hanya bekerja dengan menyesuaikan kesamaan kalimat. 

Yang mirisnya lagi, kampus hanya menyuruh mahasiswa untuk melakukan farafrase, padahal dalam farafrase juga ada aturannya. Halamna berlembar-lembar yang terdeteksi plagiat lalu di farafrase, ini sama saja menyuru orang mengganti kalimat, tetapi kita sadar betul itu bukan isi pikirannya, bukankah itu masih termasuk tindakan plagiat?

Sebenarnya dari kasus uji plagiarisme ini cukup menggambarkan ada gap antar universitas di Indonesia dengan teknologi. Sebab ini sama saja pihak universitas tidak mempelajari kinerja dari sistem itu sendiri sebelum melakukan implementasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun