Mohon tunggu...
Ranna Babel
Ranna Babel Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Hy

Anak Pend. IT yang merangkap suka Sastra, Seni dan Nicholas Saputra.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Belajar dari Kasus Ustad Yusuf Mansyur: Ada tapi Tak Berarti

19 April 2022   06:30 Diperbarui: 19 April 2022   06:34 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Belakangan ini isu terkait kasus yang menyorot nama Ust. Yusuf Mansyur, masih menjadi perbincangan hangat. Ust. kondang tersebut dituduh melakukan penipuan terhadap nasabahnya. Saya tidak mau membahas hal tersebut, tetapi saya cukup terusik setelah mendengar pernyataan si Ust, saat melakukan klarifikasi, kurang lebih bunyi pernyataanya begini'

"Saya gak lari, saya ada, rumah ada, pesantren buka, social media on terus" kurang lebih ust mencoba menganalogikan bahwa tenang saja, lagian bagaimana-mungkin beliau mau melakukan penipuan, sedangkan wujudnya masih ada dan tidak kemana-mana, dia bisa diakses dengan mudah.

Kalau tidak salah klarifikasi itu dilontarkan 1-2 tahun lalu, dan saat ini nyatanya nasabah masih melakukan pengaduan yang sama terhadap ust. bahwa mereka merasa tertipu atas iming-iming investasi dari ust tersebut. Artinya kurang lebih setahun ini, ust tidak melakukan banyak upaya untuk bertanggung-jawab terhadap korban. Atau mungkin telah berupaya, cuma belum berhasil saja.

Oke skip, dari pernytaan klarfikasi yang amat menegaskan bahwa dia akan "selalu ada" membuat saya berpikir, memangnya apa artinya kehadiran, jika tidak memberikan kontribusi? apa artinya sebuah wujud, jika tidak ada yang bisa dinikmati dari wujud tersebut?. Apa artinya kehadiran Ust. Yusuf Mansyur jika nyatanya tidak menyelesaikan masalah nasabah, tidak bertanggung-jawab membayar utang atau memenuhi janji terhadap nasabah? apa untungnya?

Tidak hanya pada kasus ust. Yusuf Mansyur, di kasus jenis lain pun kita kerap menemukan seseorang yang terlalu memaknai sebuah kehadiran, meskipun sebenarnya tidak ada yang bernilai dari adanya sebuah pertemuan tersebut. Misalnya saja, waktu kuliah saya sering dipaksa senior di himpunan untuk selalu hadir mengikuti kegiatan kampus, mengukur loyalitas dari kehadiran, padahahal kami hadir pun tidak ada hal yang bisa dilakukan. 

Atau juga di beberapa acara keluarga, saya sering dituduh malas karena jarang terlihat di dapur membantu orang-orang memasak dan berbagai kerjaan lain, padahal saya tahu betul, jika saya disana saya juga tidak bisa berkontribusi banyak, karena saya tidak paham dan tidak suka aktivitas memasak, lebih baik saya memanfaatkan energi saya di bidang/pekerjaan lain yang saya ketahui. Tetapi, tetap saja orang hanya ingin melihat kehadiran saya, seakan solusi dari semuanya adalah kehadiran.

Atau lagi, saya pernah bertemu seorang teman dan dia keheranan melihat saya datang sendiri, dia tanya begini "Kok sendiri sih?", saya kemudia bingung kenapa sendiri jadi pertanyaan, sekalipun ada pasangan untuk urusan seperti ini, saya tidak urgent untuk di temani.

Bagi saya esensi dari keberadaan bukan asal kelihatan wujudnya, tetapi soal fungsi dan kontribusi.

Jadi, kembali lagi pertanyaanya, apa gunanya sebuah kehadiran, jika hal itu tidak memberikan dampak berarti?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun