Mohon tunggu...
Sebastian Ranla
Sebastian Ranla Mohon Tunggu... -

Saya adalah seorang guru pada sebuah sekolah swasta.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Andai Kita dapat Berterus Terang

9 Desember 2009   08:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:00 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pertemuan-pertemuan singkat dan kebersamaan-kebersaman pendek… Entah sudah berapa kali kita terlibat di dalamnya. Tetapi matamu itu… betapa ia merindukan pertemuan-pertemuan panjang dan kebersamaan-kebersamaan yang berdurasi lama. Salahkah aku? Tentu saja tidak! Sebab meski kamu tak mengungkapkannya dalam kata, matamu mengharapkan sesuatu yang lain. Mata adalah cermin jiwa. Karena itu, kata temanku, jangan perhatikan apa yang keluar dari rongga suara seorang perempuan, tetapi perhatikanlah apa yang dikatakan matanya sebab ia tak dapat menipu dengan matanya. Sungguhh!

Dan tatapan matamu adalah gelombang kerinduan yang menguar dari hati, mengatasi tubuh, beresonansi di udara terbuka dan mencapai membrane hatiku. Aku tahu kau menginginkan kita berada dalam gelombang elektromagnetik yang sama supaya rinduku dan rindumu jadi satu. Namun, kamu tahu, betapa aku telah memasabodohi sinyal yang kamu kirim via udara. Dan kamu mencap aku sebagai pria sulit, tak punya perasaan dan bahkan pengecut. Terserah!!!

Aku memang pria sulit bak batu karang. Sebab batu karang adalah lambang keteguhan hati. Tak gampang terombang-ambing, tapi punya pendirian. Sulit didekati karena memang selalu menjauh. Bukan kepala batu karena kepala manusia tidak terbuat dari batu. Aku adalah aku. Yang unik. Tidak terbagi atau membagi diri. Namun aku bukan orang yang kurang pergaulan, yang hanya tinggal di kamar atau terlalu akrab dengan buku, atau yang menganggap orang lain sebagai musuh yang harus dijauhi atau bila perlu diserang sebelum menyerang duluan.

Tetapi aku bukan tak punya perasaan. Sebab bahkan hewan pun punya perasaan, apalagi manusia. Aku bisa gembira dan sedih tergantung situasi. Emosiku adalah emosi seorang pujangga yang peka pada persekitarannya dan melukiskannya dalam bahasa yang tepat dan bisa mengguncang dunia. Bagiku, sang pujangga adalah dia yang mampu membaca gelora jaman dan mampu melukiskan yang bakal terjadi di masa depan. Padanya ada kebijaksanaan hidup, yang bahkan tak dimiliki oleh para tua-tua dan para pemimpin. Ia adalah kesempurnaan emosi manusia karena mampu merasakan dan membuat orang lain juga merasakan geliat dunia. Emosi sang pujangga adalah bukan emosionalitas seorang wanita. Sebab emosi wanita adalah kerap tidak rasional karena memang begitulah wanita: emosional dan bukan rasional. Dan itu kautunjukkan dalam pertemuan dan kebersamaan kita yang pendek dan singkat.

Sebab aku adalah seorang pengecut yang bukannya tidak berani mengungkapkan rasa di hati, tetapi yang telah menghancurkan ketulusan cintamu pada sensasi erotis ibu-ibu berbra rendah, yang lebih menyukai selingan daripada menyetiai suami mereka. Sebab, kata mereka, ada sekian kemungkinan untuk bersetia, tapi ada sekian juta kemungkinan lebih untuk tidak bersetia. Setiap orang berada pada percabangan ini. Menyelingkuhi keputusasaan dan kelelahan diri. Bayangkan!!! Aku sampai pada ketidaktertarikan pada kehidupan berkeluarga sebab aku takut beristrikan seorang yang punya sekian juta kemungkinan lebih untuk tidak bersetia. Gawat!!!

Aku memang pengecut sebab yang kubawa untukmu dalam pertemuan-pertemuan dan kebersamaan-kebersamaan kita adalah ketidakpastian yang bernuansa kepastian. Dan susahnya, kamu malah terobsesi pada kepastian yang tidak pasti itu. Aku tak ingin kau menderita karena aku punya sekian juta alasan  lebih untuk tidak bersetia.

Andai kita dapat berterus terang, sungguh aku tak ingin bersamamu, selain dalam percakapan-percakapan singkat dan kebersamaan-kebersamaan yang berdurasi pendek yang dengan itu aku meyakini bahwa aku masih utuh sebagai jiwa. Maka, jangan banyak-banyak mencintaiku. Sedikit saja. Cukup lima puluh atau dua puluh persen, atau nol koma sekian persen saja. Jangan terlalu boros. Karena aku akan selalu pergi dan melukaimu.

Esranla

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun