Ditulis Oleh:
1. Rani Trioustita (215120101111004) – Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya
2. Syafirda Azmi Fahriyanti (215120101111011) – Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya
Proyek Strategis Nasional Rempang Eco-City Pemicu Konflik Agraria di Rempang, Batam
Pulau Rempang, Batam menjadi sorotan dalam beberapa waktu terakhir karena adanya konflik agraria antara warga dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) Eco-City. Berdasarkan data dari CNN Indonesia (2023), konflik tersebut dipicu karena adanya proyek infrastruktur kawasan industri, perdagangan jasa, dan pariwisata bernama Rempang Eco-City yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia terhadap negara tetangga seperti Singapura. Secara linimasa, Rempang Eco-City telah mencuat sejak tahun 2004 yang mana pemerintah melalui Badan Pengusahaan (BP) Batam bersama Pemerintah Kota Batam bekerja sama dengan PT Makmur Elok Graha sebagai mitra swasta (Fuzain, 2023). Proyek yang digadang-gadang akan menambah devisa negara tersebut justru berakibat bentrok yang disebabkan karena ketidakpastian hukum atas tanah. Rencananya, Rempang Eco-City akan dibangun di atas lahan 7.572 hektare atau sekitar 45,89% dari keseluruhan luas pulau Rempang sebesar 16.500 hektare. Dari luas lahan yang akan terpakai, terdapat 16 kampung tua yang telah lama mendiami wilayah tersebut sehingga pemerintah harus melakukan relokasi (Fuzain, 2023).
Bentrok antara pemerintah dengan warga Rempang memuncak pada bulan September 2023. Saat itu, warga Rempang tidak mau direlokasi dengan cara menolak pengukuran dan pematokan lahan di Pulau Rempang yang dilakukan oleh aparat gabungan. Konflik semakin memanas ketika penolakan yang dilakukan warga direspon aparat kepolisian dengan tindakan represif melalui penangkapan warga dan penembakan gas air mata yang menciptakan kondisi tidak kondusif. Bahkan, penembakan gas air mata oleh aparat kepolisian juga mengenai kawasan sekolah sehingga menyebabkan sejumlah anak harus dibawa ke rumah sakit (CNN Indonesia, 2023). Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa konflik yang terjadi di Pulau Rempang melibatkan dimensi kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah.
Analisis Konflik Rempang Menggunakan Teori Dominasi Struktural dan Komunikasi Jurgen Habermas
Konflik yang terjadi antara warga Rempang dengan pemerintah dapat dianalisis dengan menggunakan teori sosiologi konflik kontemporer milik Jurgen Habermas. Konflik Rempang terjadi karena adanya perbedaan kepentingan yaitu penolakan warga terhadap relokasi dan pengukuran lahan untuk keperluan Proyek Strategis Nasional Rempang Eco-City. Pemerintah melakukan dominasi pada warga Rempang dengan menggunakan wewenang dan kekuasaan yang mereka miliki. Dominasi tersebut menciptakan kepentingan penguasa yang diperantarai melalui jalur-jalur komunikasi (Fadilah, 2021). Hal tersebut kemudian menyebabkan warga Rempang tidak memiliki ruang untuk menyuarakan aspirasinya dan menyebabkan komunikasi yang berjalan antara keduanya bersifat komunikasi instrumental. Komunikasi instrumental sendiri tidak menciptakan kesepahaman karena hanya berpihak pada pemilik kekuasaan saja sehingga menciptakan ketertindasan warga dalam bentuk ketidakmampuan berpendapat mengenai keinginan mereka. Dengan demikian, solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi konflik tersebut menurut Jurgen Haberman adalah membuka ruang dialog yang bebas dari dominasi kekuasaan. Selain itu, kedua belah pihak juga harus melakukan komunikasi yang bersifat intersubjektif untuk mencapai kesepahaman yang diinginkan. Pemerintah seharusnya sedari awal melakukan diskusi atau berdialog dengan warga Rempang secara terbuka untuk menyampaikan maksud atau tujuan mereka tanpa adanya dominasi.
Segitiga Galtung sebagai Alat Bantu Konflik
Konflik Lahan di Rempang dapat dianalisis melalui segitiga SPK. Galtung menyatakan bahwa sebuah konflik dapat diungkapkan dengan sebuah segitiga yang meliputi 3 aspek, yaitu sikap (attitude), perilaku (behaviour), kontradiksi (contradiction). Konflik akan terjadi ketika ada sikap, perilaku, dan asumsi yang kontradiktif terhadap suatu hal/kejadian. Konflik tersebut dapat bersifat manifes maupun laten. Manifes adalah tindakan yang dapat diamati oleh mata dengan adanya perilaku yang dilakukan sedangkan laten dapat diamati melalui sikap dan kontradiksi atau anggapan yang dapat memicu konflik (Saragih et al., 2022).
Dalam kasus Rempang, faktor penyebab utamanya adalah rencana relokasi warga tanpa dibarengi dengan solusi dengan kejelasan hukum. Pemerintah terkesan melakukan tindakan tersebut dengan terburu-buru sehingga warga salah dalam memberikan persepsi. Hal tersebut jika dituangkan dalam segitiga SPK dapat digambarkan sebagaimana berikut;
Berdasarkan gambar diatas, sikap yang timbul dari konflik Rempang adalah penolakan warga untuk direlokasi yang pada akhirnya menimbulkan aksi bentrok antara warga dengan aparat gabungan sebagai bentuk perilaku yang muncul. Perilaku aksi bentrok tersebut muncul karena adanya kontradiksi, yaitu pengosongan lahan dimana pemerintah tiba-tiba melakukan pengukuran patok, sedangkan di lain sisi warga belum mendapat kejelasan hukum terkait kompensasi yang akan diberikan oleh pemerintah. Selain itu, wilayah Rempang merupakan salah satu kawasan adat yang telah berdiri sekitar 200 tahun lalu sehingga warga tidak ingin jika pembangunan tersebut malah menghilangkan sejarah dari kawasan Rempang.
Resolusi Konflik yang Dapat Ditawarkan dari Kasus Rempang
Mengacu pada hasil analisis konflik Rempang dengan segitiga SPK di atas, maka diperlukan pendekatan holistik dan partisipasi dari seluruh pihak untuk mengatasi konflik yang terjadi. Beberapa resolusi konflik yang dapat ditawarkan diantaranya yakni;
(1) Melakukan dialog terbuka dan transparan antara warga lokal, pemerintah, dan perusahaan pengembang. Hal tersebut perlu dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman dan menemukan kesepakatan yang tidak merugikan satu sama lain.
(2) Menyusun peraturan dan kebijakan yang jelas terkait penggunaan lahan, hak kepemilikan, dan tanggung jawab, sehingga semua pihak memiliki pemahaman yang kuat terkait kepemilikan lahan.
(3) Memberikan akses hukum yang memadai bagi pihak-pihak yang terlibat, utamanya warga lokal sebagai kelompok yang tidak memiliki kekuasaan sehingga dapat dipastikan bahwa hak-hak mereka diakui dan dilindungi oleh hukum.
Melalui resolusi yang telah disebutkan di atas diharapkan warga Rempang mendapatkan keadilan dan konflik yang terjadi segera mereda serta menemukan titik terang. Pihak pemerintah seharusnya tidak mengambil tindakan yang tergesa-gesa, melakukan analisis AMDAL, persetujuan dengan warga, serta kejelasan hukum perlu dilakukan sebelum melakukan proyek pembangunan. Dengan demikian, maka perlu ditinjau ulang apakah pembangunan Rempang Eco City benar-benar dapat mensejahterakan atau malah menyengsarakan warga.
Daftar Pustaka
- CNN Indonesia. (2023). Jejak Kisruh Rempang: Protes Warga hingga Kumpul Menteri di Istana. cnnindonesia.com. Diakses pada tanggal 22 Desember 2023 melalui https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230927104252-12-1004295/jejak-kisruh-rempang-protes-warga-hingga-kumpul-menteri-di-istana
- Fadilah, G. (2021). Implikasi Teori-teori Konflik terhadap Realitas Sosial Masa Kini: Tinjauan Pemikiran Para Tokoh Sosiologi. Journal of Society and Development, 1(1), 11-15.
- Fuzain, N. A. (2023). Konflik Sengketa Lahan Antara Masyarakat Adat Rempang Dengan BP Batam Terhadap Pembangunan Rempang Eco City. Jurnal Hukum dan HAM Wara Sains, 2(11), 1081-1088.
- Saragih, D. E., Nulhaqim, S. A., & Fedryansyah, M. (2022). Analisis Segitiga Spk Pada Kekerasan Langsung Antar Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Forum Betawi Rempug (Fbr) Dan Pemuda Pancasila (Pp). Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik, 4(2), 134. https://doi.org/10.24198/jkrk.v4i2.40000.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H