Mohon tunggu...
Rani R Tyas
Rani R Tyas Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mengaduk Perasaan Bersama Senja

Mamah Blogger pecinta drama Korea

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kuikhlaskan Kau dengan Alhamdulillah

19 Februari 2020   13:01 Diperbarui: 19 Februari 2020   13:16 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Brukk..

Tiba-tiba ingatanku membuyar kala sebuah buku biru tiba-tiba terjatuh dari meja. Buku biru usang yang pernah menjadi coretan sejarah semasa kuliah. Dia, sebut saja Amik (bukan nama sebenarnya) sebenarnya bukan teman kuliahku melainkan teman SMA. Bahkan kampusnya pun beda kota dengan tempatku kuliah.

Sedangkan buku biru itu, berisi puisi-puisi yang dia kirimkan untukku.

Tidak sepenuhnya puisi, tapi kebanyakan tentang hal-hal yang aku kagumi darinya. Amik sering memanggilku Adek. Jadi, aku hanya membayangkan hubungan kami bagai kakak adik ketemu gedhe. Saat dia jatuh cinta, patah hati, lalu kembali jomlo. Rasanya tidak ada yang terlewatkan dariku.

Hubungan yang aneh. Sebab, jika hanya sebatas itu, mengapa setiap hari kami selalu berkirim kabar. Menanyakan apakah sudah makan atau belum. Bahkan saat aku memutuskan untuk menerima perasaan orang lain, dia terus mencibir orang itu.

Hingga hari yang dinantikannya (mungkin) tiba. Aku putus juga dengan teman kuliahku.

Perhatiannya padaku semakin besar.

Sebuah puisi ditulis dengan kode morse dikirimkan melalui sms. Untunglah, saat itu aku memiliki mbak kost yang pengetahuannya soal kode-kode morse yahud banget. Tak butuh waktu lama, kami akhirnya berhasil memecahkan kode morse itu juga. 

Tak hanya ditulis dengan kode morse. Tapi kami juga ganti harus menerjemahkan puisi yang dia kirim. Lagi-lagi, untunglah mbak kostku ini penyuka puisi. Akhirnya kami mengambil intisari dari puisi tersebut, dia ingin aku menunggunya karena dia akan meminangku suatu hari nanti.

Pernyataan itu semakin diperkuat kala kami sedang berada di pantai Samas. Sebuah cincin perak yang diperoleh di Kota Gede disematkan di jariku.

Sayang, perjalanan kami memang tidak semulus pantat bayi.

Kesibukan kami di semester akhir menjadikan kami sibuk dengan masing-masing kegiatan. Juga dengan kehidupan masing-masing.

Betapa lugunya aku saat itu. Aku terlalu percaya padanya. Aku jadi jarang menghubunginya karena aku khawatir akan mengganggu kuliahnya. Tanpa aku sadari, Amik telah jatuh cinta lagi dengan perempuan lain. Perempuan dari satu jurusan yang sama denganku. Meski tidak sekelas, tapi aku mengenal perempuan ini. Kebetulan dia adalah sahabatnya temanku. Hampir semua satu jurusan mengenalnya, karena selain cantik, memang dia pintar.

Bahkan mungkin Amik telah menceritakan perihal aku pada perempuan ini. Aku selalu disapa dengan hangat dan seolah-olah dia ikut mengganggapku sebagai adik kecil. Hadirnya Facebook kala itu, membuat hatiku semakin remuk kala melihat mereka saling berbalas komentar dengan mesra.

Aku memutuskan mundur dari dunia persilatan.

Rasanya ingin berteriak seperti BCL, "Ku ingin marah, dengan siapa? Tapi ku sendiri di sini."

Sial! Lagu itu muncul pas bertepatan dengan apa yang kurasakan saat itu.

Aku berusaha menyibukkan diri dengan pekerjaan. Berusaha tertawa lepas dengan sahabat-sahabat yang aku punya. Malangnya, tawaku terasa begitu hambar. Aku tetap merasakan kekosongan dalam waktu yang cukup lama.

Dia ingin Berbagi denganku

Dalam perjalanan pulang, aku menerima sebuah SMS. Bukan lagi dari Amik. Melainkan dari perempuan yang kini disayangi Amik. Dia dengan jujur mengatakan bahwa dia dan aku menyayangi orang yang sama. Dia bertanya, oh tidak maksudku menawarkan opsi, bagaimana jika kami sebaiknya berbagi suami.

Hatiku saat itu juga, seperti piring yang terjatuh pecah dan berderai-derai.

Mengapa perempuan ini, sampai dengan ikhlas ingin berbagi calon suaminya untukku. Dia sudah gila! Oh tidak, mungkin aku yang gila! Saat itulah aku merasa terlempar ke lorong waktu yang panjang dan kelam. Aku melihat bayangan Fahri, Aisha dan Maria dalam film Ayat-Ayat Cinta pertama. Sayangnya, aku tidak melihat keberadaanku sebagai Aisha. Akulah yang menjadi Maria. Akulah yang merusak kebahagiaan mereka.

Tidak. Aku tidak ingin benar-benar menjadi Maria. Saat itulah aku segera berpikir aku harus benar-benar melepaskannya untuk bersama yang lebih baik dariku.

Mungkin jalan kita memang sudah tak bisa bersama lagi, tetapi berkatnya, aku belajar banyak hal hingga aku bisa setegar dan setangguh sekarang meskipun sebenarnya hatiku rapuh.

Aku belajar bahwa cinta manusia tidak boleh lebih besar cinta kita padaNya. Hati dengan mudah dibolak-balikkan tanpa nahkoda. Hati dengan mudah ditambatkan ketika jodohnya bukan yang ada di depan mata.

Aku juga jadi belajar memaafkan. Mengikhlaskan agar hatiku bisa bebas bahagia.

Inilah saatnya, kuikhlaskan kau dengan Alhamdulillah.

***

Tulisan ini dibuat untuk diikutsertakan dalam Blog Competition Estafet Kompasiana. Saya bagian dari #TimWAR yang terdiri dari Rani R Tyas, Widi Utami dan Arinta Adiningtyas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun