budaya positif memerlukan kontribusi seluruh pemangku kepentingan pendidikan dalam komunitas yang diawali oleh perubahan paradigma baru yang mencakup apa yang dipercayai dan diyakini sebagai nilai kebajikan yang hendak dijadikan sebagai budaya sekolah. Terciptanya budaya positif di dalam sekolah memiliki dampak yang besar terhadap sekolah, selain menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman hal ini juga akan mendorong prestasi akademik murid, kesejahteraan emosional dan pengembangan karakter murid.
Budaya sekolah merupakan fondasi penting dalam suatu komunitas. Hal ini akan menjadi patokan bagaimana siswa, guru, dan staf berinteraksi serta bekerjasama dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. TransformasiMembangun budaya positif, tentu saja tidak dapat dilakukan oleh satu guru saja atau hanya dilakukan oleh pimpinan sekolah melainkan harus  dilakukan oleh semua anggota komunitas sekolah yang secara serentak melakukan dan menerapkan perubahan budaya positif.Â
Membangun budaya positif di dalam sekolah harus diawali dengan mempertimbangkan kembali visi dan misi bersama sehingga setiap orang bergerak menuju tujuan yang sama. Merumuskan visi dan misi yang jelas dan dapat diterima oleh seluruh komunitas sekolah. Proses ini harus melibatkan guru, siswa, orang tua, dan staf administrasi. Diskusi terbuka dan musyawarah bersama dapat memastikan bahwa visi dan misi yang dihasilkan mencerminkan aspirasi dan nilai-nilai bersama. Visi dan misi yang kuat akan menjadi panduan dalam setiap keputusan dan tindakan yang diambil di sekolah. Kekuatan visi misi ini lah kemudian dijabarkan menjadi tolak ukur membangun program dan kegiatan-kegiatan sekolah.Â
Membangun budaya positif pada akhirnya akan bermuara menghasilkan karakter disiplin diri. Disiplin diri ini berbeda dengan perilaku positif yang dimunculkan oleh warga sekolah. Sebagai contoh perilaku hadir tepat waktu. mari kita perhatikan dua situasi berikut:
- Siswa X hadir tepat waktu di sekolah untuk menghindari hukuman yang diberikan guruÂ
- Siswa Y yang hadir tepat waktu karena ia sadar betul makna pentingnya hadir tepat waktu di sekolah agar bisa mempersiapkan diri lebih baik dalam mengikuti pembelajaran.
Dari dua kondisi di atas, kita bisa melihat bahwa perilaku yang sama tetapi dengan motivasi yang berbeda. Tujuan akhir dari pembentukan disiplin positif adalah disiplin diri seperti yang tertera pada kondisi yang kedua. Kondisi di ataspun berlaku pada perilaku tidak disiplin yang diperlihatkan siswa. Mari kita perhatikan dua kondisi berikut ini:
- Siswa A terlambat ke sekolah karena ia harus merawat ibunya yang sakit dan menyiapkan makanan di rumah untuk adik-adiknyaÂ
- Siswa B terlambat ke sekolah karena lama bangun akibat terlalu lama bermain game sepanjang malam
Dari dua kondisi di atas, kita bisa melihat bahwa perilaku yang terlihat sama tetapi dengan motif yang berbeda. Jika dua kondisi tersebut terjadi di dalam kelas kita? Bagaimanakan cara kita menghadapinya? Apakah keduanya mendapatkan perlakuan yang sama? diberikan hukuman? atau justru konsekuensi? Ketika kita hendak membangun budaya positif maka sikap tidak disiplin yang muncul dipermukaan tersebut harus digali hingga ke motivasi intrinsik siswa sehingga siswa mendapatkan pengarahan dan tuntunan yang sesuai untuk memperbaiki lakunya.Â
Untuk membangun satu disiplin positif, guru memiliki peran kontrol di dalam kelas. Beberapa peran kontrol diantaranya adalah: sebagai penghukum, pembuat rasa bersalah, pemantau, teman dan manajer. Peran kontrol yang paling ideal dilakukan oleh guru dalam membangun disiplin diri adalah peran manajer. Satu pendekatan baru yang bisa dilakukan oleh guru untuk menggali motivasi intrinsik siswa yang mendasari perilaku yaitu penerapan restitusi. Tujuan utama dari restitusi ini adalah pemulihan, bukan untuk mengungkit kesalah atau membuat siswa membayar kesalahan yang sudah dilakukan melainkan berfokus pada perbaikan karakter dan penyelesaian masalah. Terdapat 3 tahapan dalam melakukan metode segitiga restitusi yaitu:Â
- Menstabilkan identitasÂ
- Validasi tindakanÂ
- Menanyakan keyakinanÂ
Pada penerapan segitiga restitusi tersebut, siswa dan guru akan duduk bersama untuk menyelesaikan masalah dan memperbaiki diri kedepannya. Pada kegiatan ini juga akan terlihat proses tawar menawar bentuk solusi atas perilaku siswa bukan diberikan satu arah oleh guru. Jika kegiatan restitusi ini berhasil dilakukan oleh semua pemangku kepentingan di sekolah dan tetap berpatokan pada nilai sekolah yang tercermin pada visi-misi maka mimpi terwujudnya budaya positif di sekolah serta karakter disiplin diri dalam siswa akan terwujud.
Wujud nyata dari penerapan budaya positif serta sesi berbagi yang telah saya lakukan dapat dilihat pada link youtube berikut ini:
Salam dan Bahagia
Rani Elisa Purba (CGP A.10)
Sumatera Utara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H