Mohon tunggu...
Rani Febrina Putri
Rani Febrina Putri Mohon Tunggu... Lainnya - Bachelor of Food Technology | Fiction Enthusiast |

Penyuka fiksi dalam puisi, cerpen, dan novel. Hobi belajar dari buku-buku yang dibaca, orang-orang yang ditemui, lagu-lagu yang didengar, dan tempat-tempat yang dikunjungi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Resolusi Januari

17 Januari 2024   09:44 Diperbarui: 17 Januari 2024   10:03 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: unsplash.com/GlenCarrie

Aku mengaduk-aduk bubur ayam yang sudah dingin. Bubur dengan suwiran ayam, kacang kedelai goreng, daun bawang, potongan cakwe, dan siraman kuah dengan sedikit kecap manis itu terasa hambar di mulutku. Kelezatan yang biasa kurasakan seolah menguap bersama udara dingin pagi ini.

"Nggak enak buburnya? Ini kan langganan kita sama ayah dulu," tanya Raisa padaku setelah menyendok suapan terakhirnya. Warung bubur itu masih ramai hingga penjualnya yang sering dipanggil Bang Dodo itu tidak terlihat punggungnya. Kursi pelanggan yang hanya ada beberapa saja sudah penuh diduduki orang. Aku dan Raisa pun duduk di emperan toko yang masih tutup untuk menikmati semangkuk bubur hangat di pagi yang dingin. Melihat hiruk pikuk pagi di hari Minggu menjadi suatu rutinitas kami berdua. Namun pagi ini berbeda karena aku merasa kenangan-kenangan bersama ayah perlahan menjejali pikiranku. 

Hari ini kami sedang berkunjung ke Bandung, sekadar jalan-jalan dan bertandang ke rumah nenek, rumah ibu dari ayah. Kota ini menjadi penuh potongan kisah yang berserakan sejak langkah pertamaku turun di Stasiun Bandung dini hari tadi. Seolah aku bisa menemui ayah di setiap sudut jalan. Rasanya seperti sedang menjejaki rekaman masa kecilku yang dihabiskan di kota ini.

Warung bubur Bang Dodo ini juga jadi saksi betapa kenangan indahku selalu terpaut di setiap jengkal kota, di gerobak bubur, di kursi sesak pelanggan, bahkan di denting mangkuk dan sendok yang berisik. Setelah belasan tahun aku meninggalkan kota ini, akhirnya aku menghirup udaranya kembali, menghirup harapan-harapan baru di tahun baru ini. Harapan pertama di bulan pertama ini adalah dapat mengunjungi kota kelahiran ayah, kota masa kecilku, kota kebahagiaanku, dan tentunya dapat bertemu ayah.

"Mas Janu?"

"Eh iya,"

"Malah melamun gitu. Habisin atuh buburnya."

Aku tersenyum dan segera menghabiskan buburku.

Setelah sarapan yang penuh kenangan itu, kami pun segera beranjak dari warung bubur itu. Dua pasang kaki kami melangkah menuju rumah nenek yang tidak jauh dari warung bubur tadi. Dengan perasaan campur aduk, detak jantung kami semakin cepat. Aku menggenggam tangan Raisa dengan erat. Adik perempuanku itu terlihat lebih tenang dibanding aku. Namun kami sama-sama hanyut dalam perasaan masing-masing.

Suasana rumah nenek lengang. Kami menatap sekeliling. Halamannya masih sama. Bunga-bunga anggrek masih terawat cantik di teras rumah. Kutangkap sesosok perempuan berambut putih dengan senyumnya seolah sedang menatap anak sendiri. Padahal tangannya sedang menyemprotkan cairan ke bunga-bunga anggrek itu. Untuk beberapa saat aku dan Raisa hanya diam, menatap nenek dengan kerinduan yang membuncah. Sebab aku selalu menangkap mata ayah di mata nenek. Aku mendengar suara ayah dengan mendengar suara nenek. Sampai kapanpun, aku selalu berterima kasih pada nenek karena telah melahirkan ayah, sebagai ayah yang paling berhasil menjadi ayah untukku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun