Stunting kerap menjadi topik hangat di kalangan masyarakat dan di berbagai media massa. Stunting atau tengkes merupakan permasalahan kekurangan gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi yang masuk ke dalam tubuh dalam waktu yang cukup lama. Kekurangan asupan gizi ini menyebabkan pertumbuhan anak-anak mengalami gangguan, seperti tinggi badan yang lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar tinggi seharusnya pada usia tersebut.
Dilansir dari website sehatnegeriku.kemkes.go.id, dinyatakan bahwa stunting tidak hanya sebatas masalah tinggi badan, tetapi juga mengenai permasalahan kemampuan belajar anak yang rendah, keterbelakangan mental, dan munculnya penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, hingga obesitas.
Selain itu, penyebab stunting tidak hanya terkait pangan, pola asuh, sanitasi, dan air bersih. Namun juga masalah ekonomi, kemiskinan, lingkungan, politik, sosial, budaya, dan kurangnya pengetahuan terhadap stunting itu sendiri.
Menurut Noer Laily, periset Pusat Teknologi Agroindustri (PTA), Indonesia mengalami kondisi kekurangan gizi, kelebihan gizi, dan ketidakseimbangan gizi. Kondisi tersebut disebut sebagai triple burden malnutrition.Â
Kementerian Kesehatan melalui Hasil Studi Kasus Gizi Indonesia (SSGI) melaporkan bahwa angka stunting di Indonesia pada 2021 adalah 24,4% dan pada 2022 turun menjadi 21,6%. Meskipun begitu, prevalensi stunting di Indonesia ditargetkan bisa terus turun mencapai 14% di tahun 2024 kelak. Angka tersebut ditargetkan berdasarkan standar WHO terkait prevalensi stunting yang harus berada di bawah 20%.
Angka tersebut merupakan acuan, perhitungan data, dan tolok ukur dari sebuah upaya. Sebagai masyarakat kita perlu aksi nyata dalam mewujudkan penurunan prevalensi stunting tersebut. Upaya mencegah dan mengatasi stunting ini menjadi suatu urgensi karena mengingat bahaya dan buntut permasalahannya terhadap anak yang dapat berdampak pada penurunan kualitas sumber daya manusia sebagai generasi penerus bangsa.
Berdasarkan website dppkbpppa.pontianak.go.id, penyebab utama stunting adalah malnutrisi dalam jangka panjang (kronis). Malnutrisi dapat terjadi sejak bayi masih dalam kandungan, juga saat anak dalam masa pertumbuhan. Oleh karena itu, kita tahu bahwa memperhatikan asupan gizi makanan akan sangat penting dalam mencegah dan mengatasi stunting. Asupan gizi makanan erat kaitannya dengan teknologi pangan, karena peran teknologi di masa kini seharusnya dapat masuk ke ranah pencegahan stunting tersebut.
Salah satu peran teknologi pangan dalam hal ini adalah penerapan diversifikasi produk pangan lokal. Diversifikasi berarti memodifikasi atau memvariasikan suatu produk pangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012, pangan lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal.
Pemanfaatan pangan lokal atau pangan yang ada di sekitar masyarakat dengan optimal merupakan salah satu alternatif dalam mengatasi stunting. Dengan adanya upaya pemanfaatan pangan lokal tersebut, masyarakat dari kelas ekonomi menengah ke bawah akan dapat meminimalisir alokasi pendapatan keluarga untuk membeli pangan. Dalam penelitian Galhena, Freed, dan Maredia (2013), pangan lokal yang ditanam di pekarangan atau taman rumah dapat menjadi upaya mengatasi kerawanan pangan dan kekurangan gizi, juga dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga.
Namun, selain memodifikasi pangan lokal, penting juga untuk melakukan penambahan bahan pangan/zat gizi yang kurang pada pangan lokal tertentu. Hal itu dikarenakan suatu pangan lokal belum tentu tercukupi dan seimbang dalam kandungan gizinya. Penambahan bahan pangan/zat gizi tertentu ke dalam makanan untuk memperkaya kandungan gizinya disebut fortifikasi.Â
Mungkin istilah-istilah seperti diversifikasi dan fortifikasi cukup asing dan sulit bagi masyarakat awam. Sehingga upaya mencegah dan mengatasi stunting ini membutuhkan kerja sama berbagai pihak. Pemerintah bersama dengan para akademisi, tim penggerak PKK, kader posyandu, dan berbagai lembaga atau komunitas terkait kesehatan masyarakat dan lingkungan dapat berkomitmen bersama dalam upaya ini.Â
Kalangan berpendidikan dapat berperan memberikan pendampingan, sosialisasi, seminar, workshop, ataupun pelatihan terkait diversifikasi dan fortifikasi pangan lokal sebagai salah satu alternatif pencegahan stunting. Sedangkan masyarakat awam dapat berperan untuk mengikuti arahan dan program pemerintah. Masyarakat juga dapat berinisiatif menambah wawasan dan pengetahuan tentang stunting ini secara mandiri dengan banyak membaca dan mencari informasi. Akan lebih baik jika proses belajar masyarakat tersebut diawasi dan ditindaklanjuti dengan adanya program-program pendampingan yang relevan, berkelanjutan, serta memberikan dampak dan kontribusi nyata dalam penurunan prevalensi angka stunting di Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H