Selain itu, kekelaman diidentikan dengan keputusasaan dan rasa sia-sia. Itu terdengar mirip dengan kata menyerah. Ketika kita menyerah, kita berputus asa dan merasa semuanya sia-sia, bukan?
Mungkin ada baiknya justru kita memvalidasi emosi negatif kita. Kita akui dan kita terima rasa marah, kesal, benci, dan tidak terimanya kita terhadap sesuatu atau seseorang. Namun sebatas itu saja. Tidak perlu berlarut-larut. Kalau berlarut, justru kita akan tenggelam dan tak lagi dapat merasakan emosi negatif apalagi positif. Karena tubuh kita sudah enggan peduli, merasa masa bodoh terhadap semua hal yang terjadi. Saya pikir, ini akan menjadi lampu peringatan paling berbahaya dalam hidup seseorang.
Saya sangat bersyukur diberi kesempatan untuk membaca novel ini karena saya dapat memaknai gelap dan kelam dalam hidup saya dengan kacamata yang berbeda sekarang. Meski tidak mudah dan tak jarang saya pun membantah semua pemahaman saya sekarang ini saat saya dihimpit kesulitan dan keputusasaan yang sangat. Namun, ending dari semua proses belajar saya dari apa yang saya baca adalah, bahwa semua ada hikmah dan ada penyelesaiannya. Semoga dari sekian ujian dan cobaan hidup, kita tidak akan pernah menyelesaikannya dengan kata menyerah.
Terima kasih Leila S. Chudori telah menulis karya luar biasa ini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H