Mohon tunggu...
Rani Febrina Putri
Rani Febrina Putri Mohon Tunggu... Lainnya - Fresh Graduate, Bachelor of Food Technology | Fiction Enthusiast |

Penyuka fiksi dalam puisi, cerpen, dan novel. Hobi belajar dari buku-buku yang dibaca, orang-orang yang ditemui, lagu-lagu yang didengar, dan tempat-tempat yang dikunjungi.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Belajar Memaknai Gelap dan Kelam dari Novel Laut Bercerita

27 November 2023   21:06 Diperbarui: 27 November 2023   21:12 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Laut Bercerita. Salah satu novel yang mengandung bawang yang tidak sekadar membuat perih mata, namun juga terasa perih di hati.

Mata saya langsung tersihir saat membaca kalimat-kalimat dalam novel karya Leila S. Chudori ini. Terutama pada dua kutipan yang akan saya tuliskan di bawah.

Kutipan pertama adalah tentang gelap.

"Gelap adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Pada setiap gelap ada terang meski hanya secercah, meski hanya di ujung lorong."

Penulis novel berhasil menggambarkan suasana gelap yang dialami tokoh di dalamnya. Namun di balik penggambaran suasana tersebut, saya menilik makna mendalam dari kalimat tersebut.

Jika melihat dari sisi logikanya, kita pasti akan bertemu gelap di setiap harinya. Malam dan mata yang terlelap. Itu adalah definisi gelap yang sebenarnya. Namun jika dimaknai dari kacamata yang lain, gelap berarti keterpurukan, kesedihan, keputusasaan, hilang arah, dan berbagai macam emosi negatif lainnya. Dalam hidup, tentunya kita pernah merasakan itu semua. 

Nah, kalimat selanjutnya menyadarkan saya bahwa setiap gelap ada terang. Seperti halnya setiap kesulitan ada kemudahan. Dua sisi berbeda itu memang ditakdirkan berpasangan dan tak terpisahkan. Maka, saya selalu mengingat ini sebagai penguat saya ketika kesulitan, kesedihan, dan keputusasaan sedang berumah ke kepala dan hati saya.

Kutipan kedua adalah tentang kelam.

"Tapi jangan pernah kita tenggelam pada kekelaman. Kelam adalah lambang kepahitan, keputusasaan, dan rasa sia-sia."

Membaca kalimat tersebut mengingatkan saya pada seseorang. Saya pernah bertanya padanya, "Boleh capek nggak sih?". Dia pun menjawab, "Boleh. Yang nggak boleh itu menyerah."

Dialog itu terasa seperti ikut menginterpretasikan kutipan dari novel tersebut. Bahwa kekelaman merupakan kepahitan, keputusasaan, dan rasa sia-sia. Menurut saya, definisi itu sama seperti sebuah rasa menyerah. Bukankah menyerah itu pahit? Kita tidak boleh tenggelam ke dalamnya. Sebaiknya, kita cukup berenang di tepian atau permukaannya saja. Bukankah Tuhan kita juga melarang kita untuk berlarut-larut dalam kesedihan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun