Nura bergumam sambil menggenggam lilin dan korek api. Setidaknya ia akan meniup lilin meski tanpa hadiah apapun dan dari siapapun. Dengan beralaskan kardus bekas dan berselimut selembar koran, Nura digerogoti rasa cemas. Jika ia beranjak mencari neneknya, itu hanya akan memperumit keadaan. Mereka akan saling mencari pada akhirnya. Kini ia tidak peduli pukul berapa saat itu, yang terpenting neneknya pulang dengan selamat.
  Sembari menunggu, dia memilih mencoba terpejam meski pikirannya kalang kabut. Remah-remah kekhawatiran berjatuhan di kepalanya. Dingin menusuk tulang-tulangnya yang hanya dibalut kulit dan daging tipis. Perutnya sudah tenang, keroncongannya tidak bunyi lagi. Dalam keadaan seperti itu, dia takkan sempat untuk lapar. Seluruh tubuhnya dikerahkan untuk mencemaskan neneknya, orang satu-satunya yang ia punya dalam hidup.
**
   Di tempat lain, Milah terduduk lesu di emperan toko sepatu yang sudah tutup. Mungkin sudah jam sepuluh lewat, atau sudah memasuki jam sebelas, pikirnya. Dia tak berhasil menemukan jam dinding bekas. Uang hasil memulungnya juga tidak cukup untuk membeli itu. Milah mementingkan membeli nasi bungkus daripada ia dan cucunya mati kelaparan demi membeli jam dinding. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang, menenteng nasi bungkus, berharap itu belum basi. Wajahnya yang sudah keriput itu makin berlipat-lipat. Tiap kerut dan lipatannya berisi kekecewaan mendalam. Milah mempercepat langkah selagi hujan sudah reda. Ia harus tiba di kolong jembatan sebelum hari berganti. Di tengah perjalanan, dia melihat satu toko dengan lampu yang masih terang benderang. Sudut matanya menangkap plang toko berwarna merah, "TOKO JAM DINDING (BUKA 24 JAM)". Milah menelan ludah, merogoh sakunya yang hanya ada angin di situ. Kosong.
   Tubuh menggigil Milah akhirnya sampai di kolong jembatan, menemui cucunya yang meringkuk seperti udang rebus. Ia mendorong gerobak perlahan, tidak mau membangunkan Nura. Pelan-pelan dia mengambil lilin dan korek yang ada di tangan Nura, kemudian menyalakannya. Angin berdesir pelan, hampir mematikan nyala api di lilin itu. Tetapi, api lebih lahap menguyah badan lilin, mungkin angin menjadi takut dan tak berani lewat lagi.
Nura terbangun saat Milah sedang membuka nasi bungkus dan sebotol air mineral.
   "Selamat ulang tahun, Nur," Milah tersenyum dengan bibir pucatnya. Senyum Nura ikut merekah. Mereka segera menyantap nasi bungkus bersama, ditemani api yang melahap lilin ulang tahun Nura.
   "Nura, apa kamu menunggu hadiah?" tanya Milah cemas.
   Nura menggeleng, lalu meneguk air dari botol mineral. Kerongkongannya sedari tadi hanya dijilati oleh rasa haus, terus berteriak minta dibasahi. Nasi bungkus sudah tandas, menyisakan kilap minyak di bibir dan jemari tangan kanannya.
   "Yasudah, kita tiup lilin yuk," ajak Milah.
   Lilin padam. Senyum mereka terbit saat hujan telah benar-benar reda. Mereka pun beranjak tidur sambil berpelukan.