Mohon tunggu...
Rani Febrina Putri
Rani Febrina Putri Mohon Tunggu... Lainnya - Fresh Graduate, Bachelor of Food Technology | Fiction Enthusiast |

Penyuka fiksi dalam puisi, cerpen, dan novel. Hobi belajar dari buku-buku yang dibaca, orang-orang yang ditemui, lagu-lagu yang didengar, dan tempat-tempat yang dikunjungi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melepas Bintang

28 Oktober 2023   16:22 Diperbarui: 28 Oktober 2023   16:29 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Angin malam mengusap lembut bintang-bintang di langit. Meski indahnya menyihir malam-malam yang dingin, aku tahu cahaya lampu-lampu jalanan di pusat kota tetap menjadi favoritmu. Taburan bintang yang berbintik di langit justru menjadi hal yang paling kau hindari. Aku tidak tahu mengapa dan itu tidak penting, setidaknya untuk permulaan cerita ini. Aku hanya ingin memaku setiap jejak yang kita lewati pada permukaan sisa waktu. Setidaknya sampai kau berhenti berkata terima kasih setiap kali pernyataan cintaku mencoba membius hatimu.

     "Aku mencintaimu," kataku memecah deru kendaraan yang saling menyalip di jalanan kota yang tak pernah mati.

     "Terima kasih," jawabmu sambil mengalihkan pandangan dari kaca spion vespa baruku yang masih mengkilap. Lampu jalanan kota kembali mencuri pandanganmu, membalutnya perlahan agar tak ke mana-mana.

     Aku tersenyum, puas karena tebakanku akan jawabanmu selalu benar. Lampu-lampu dari kendaraan di depanku meringis kesakitan, menatapku iba, sok berempati. Deru kendaraan pun ikut membisingkan nasihat-nasihat hakikat mencintai yang entah dari mana mereka mendengarnya. Nasihat itu tak jauh-jauh dari kalimat "hakikat mencintai adalah melepaskan". Aku muak mendengarnya, entah itu dari deru kendaraan, lampu taman, bintang-bintang, atau bahkan dari detak jam dinding di ruangan-ruangan, tempat aku biasa menyatakan perasaan. Dan yang paling kubenci adalah mendengarnya dari bibirmu, malam ini.

     Kita sampai di alun-alun kota, beberapa tusuk sate ayam sudah hinggap di mulutmu, terlumat sempurna. Sambil mengunyah, kau berbicara mulai serius.

     "Kau tahu?"

     "Apa?"

     "Hakikat mencintai adalah melepaskan,"

     Aku mematung. Tetapi kau masih dengan santainya mengunyah, seolah tidak ada pergolakan batin di antara kita. Seolah tidak terjadi apa-apa dalam hatimu, sedangkan jika kau tahu apa yang terjadi dalam hatiku sekarang, mungkinkah kau akan tetap mengunyah tanpa rasa bersalah?

     "Aku menolakmu. Aku tidak bisa menerima perasaanmu, apalagi bersamamu," Kau mulai berhenti mengunyah. Sedangkan aku sibuk menelan cercaan bintang-bintang di atasku, memojokkanku untuk menyerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun