"Aku minta maaf, meski kutahu ini takkan mengubah apapun. Lagian kenapa sih kau harus menolongku segala? Biarkan saja aku yang tertabrak!"
"Kalau kutahu akan separah ini, sampai aku pincang begini, aku juga takkan menolongmu. Lebih baik kau saja yang tertabrak."
Aku tercengang. Belasan tahun kami berteman, itulah perkataan paling menyakitkan yang terlontar dari mulutnya. Tetapi aku memang munafik untuk bilang kalau aku rela jika aku saja yang pincang. Aku sama-sama ingin selamat dan sehat.Â
Begitupun aku berharap untuknya. Awalnya kupikir dia hanya asal bicara karena masih shock dengan keadaannya. Namun ternyata dendam dan rasa sesal yang entah terhadap dirinya sendiri ataupun terhadapku, itu masih ada dan tertanam hingga kami masuk ke sekolah menengah kejuruan.
Budi memang masih bersahabat denganku, dan itu satu-satunya hal yang paling aku syukuri selama ini. Terlepas dari dia membenciku atau tidak, dia tidak pernah meninggalkanku.Â
Bahkan ketika akhirnya aku menyadari bahwa selama ini aku hanya dijadikan kambing hitam untuk setiap kesalahan yang ia perbuat, aku tetap menerima itu sebagai bentuk syukur atas kesetiaannya padaku dan tidak memilih meninggalkanku. Sebab, hanya dia temanku satu-satunya.
Aku hanya tersenyum kecut setiap mengingat bagaimana dia meletakkan puntung rokok yang ia hisap di WC sekolah karena ketahuan guru BP. Dia tak ketahuan, aku yang disalahkan. Dia juga pernah menaruh sebotol ciu di tasku sebelum berangkat sekolah.
"Aku akan minum-minum sepulang sekolah. Kau yang jaga mirasnya, oke?"
Sialnya, hari itu ada razia. Aku dihukum, sementara dia lolos, tetap minum-minum di halaman belakang sekolah dengan santainya. Saat ujian sekolah berlangsung, ia memintaku untuk menuliskan namanya di lembar jawabku, dan dia akan menuliskan namaku di lembar jawabnya.
"Tolong berikan kepintaranmu sedikit untuk sahabatmu ini.Tenang saja, aku takkan merenggut otak brilianmu meskipun kau telah menghilangkan kaki kananku."
Aku tertohok lagi. Rasa takutku akan nilaiku yang jelek akan kalah dengan rasa bersalahku dan rasa takut kehilangan sosok Budi dalam hidupku. Namun, limpahan kesalahan Budi tidak sampai di situ saja. Hutangnya pada kantin yang dicatat atas namaku.Â