Seragam putih biru masih melekat, lengket bercampur keringat di siang yang terik kala itu. Aku dan Budi cengengesan di depan seekor kambing hitam yang sedang mengunyah rumput dengan lahapnya.Â
Pak RT menjual kambing itu dengan harga cukup murah, khusus untuk kami, si bocah ingusan yang bercita-cita ingin kurban di hari raya Iduladha.Â
Mungkin perlu beberapa tahun lagi, menunggu si kambing hitam itu dewasa dan siap umurnya untuk disembelih. Pak RT memberi harga murah karena terkagum-kagum dengan tekad kami yang begitu kuat untuk usia kami yang masih belia ini. Aku dan Budi sudah menabung cukup lama untuk membeli "Syukur", nama yang akhirnya kami berikan pada si kambing setelah melalui perdebatan.
"Aku mau beri nama dia Marcel," celutuk Budi bersemangat.
"Heh, jangan macam-macam lah. Panggil saja dia Slamet," aku menimpali tak mau kalah.
"Antonio saja kalau begitu."
"Syukur saja deh."
"Syukur?"
"Mbeekk.." terdengar si kambing hitam bersuara setelah dari tadi sibuk mengunyah. Aku, Budi, dan Pak RT saling berpandangan, lalu mengangguk mantap. Menyepakati nama Syukur tanpa banyak ba-bi-bu lagi.
Begitulah akhir dari persahabatanku dengan Budi yang masih baik-baik saja, bahkan lebih dari baik. Kami berteman sudah sejak lahir. Rumah kami hanya berjarak lima langkah.Â