Lagi-lagi kulihat ibu termenung, membisu ditemani kegelapan. Di ruangan berukuran tiga kali tiga meter itu, aku selalu melihatnya murung. Hari demi hari berlalu, aku bosan menemuinya dengan keadaan seperti itu. Rambut yang tak pernah disisir, apalagi keramas. Baju daster bermotif bunga mawar yang lusuh tak pernah digantinya sejak tiga hari lalu. Kukunya yang panjang dan menghitam seerta matanya yang sembab dengan lingkaran gelap di bawahnya semakin membuatku tersayat.
Ibu tak pernah menghiraukanku setiap kali aku menemuinya. Ia kalut dengan perasaan dan pikirannya sendiri. Aku terabaikan, bahkan meski aku datang dengan merengek dan menangis, meminta untuk dipeluk. Aku memanggilnya sesekali meski suaraku terkadang tertahan. Aku membasuh air matanya meski aku sendiripun juga sedang menangis. Aku memeluknya dan menggenggam tangannya. Aku berpikir bahwa ibu pasti menginginkanku melakukan itu semua, walaupun ia berlagak tidak peduli dan tidak menghiraukanku.
Namun, lama kelamaan aku tersiksa melihat ibu yang menyiksa dirinya sendiri. Kalau rindu itu berat, bukankah kami bisa memikulnya bersama? Mengapa ibu tidak melibatkanku untuk meringankannya? Kalau temu adalah obat dari rindu itu, bukankah aku selalu menemuinya? Aku tidak tahu lagi harus bagaimana jika temu tidak cukup untuk mengobatinya.
Hingga suatu hari, aku memanggilnya lagi.
"Ibu."
Ibu menoleh padaku. Tetapi ia tidak tersenyum, justru menangis. Apakah kehadiranku melukainya? Aku sungguh tidak mengerti perbedaan tangisan bahagia dan tangisan penuh luka. Namun aku mengambil jalan tengah. Aku memutuskan untuk meninggalkan ibu. Biar aku meminta tolong pada Tuhan untuk menjaganya. Aku berdoa agar Tuhan tidak pernah melepas rangkulan-Nya pada ibu, karena kini aku akan melepas rangkulanku padanya. Aku akan melepas genggamanku yang mungkin selama ini bukan menguatkannya, justru mengikat ibu terlalu kuat, hingga ibu sakit dan terluka. Aku ingin bersama ibu, tetapi sepertinya kehadiranku tidak sepenuhnya membuatnya bahagia. Maka, aku percayakan pada Tuhan, agar Dia yang hadir di setiap langkah hidup ibu.
Aku menangis meronta-ronta sejak satu langkah pertama ketika aku berbalik badan, memunggungi ibu, meninggalkannya, melepaskannya. Lagi-lagi kurasa ibu tidak mendengar tangisanku, apalagi berlari menahanku untuk tidak pergi.
Beberapa hari setelah aku meninggalkan ibu, aku menjadi tidak tenang dan terus diburu rasa rindu. Tetapi aku menahan seluruh keegoisanku, demi ketenangan ibu. Hingga tiba-tiba ibu justru datang menghampiriku di hari kematiannya.
"Nak, ibu datang. Maaf selama ini ibu tidak mendengarmu jika kamu yang menghampiri ibu. Maka, biar ibu yang menghampirimu, ya." ucap ibu sambil menggenggam tanganku.
Aku hanya membeku dan membisu. Tangis masih bisa kutahan, sampai pada akhirnya ibu menggendongku, tangisku pecah. Genggaman ibu makin kuat, dan akupun makin merasa hangat di pangkuannya. Ibu tak henti-hentinya mengelus tubuhku yang mungil ini. Aku tidak bisa bicara, namun mataku yang menyampaikan rasa rinduku pada ibu. Mataku yang memanggil ibu untuk menatapku. Dalam sayup-sayup suara tangisanku sendiri, aku mendengar ibu meminta maaf padaku. Ibu meminta maaf karena tidak sempat mengajakku melihat dunia lebih lama lagi.