Si Bahlul bertanya dengan mimik tidak puas melihat kebahagiaan yang terpancar di mata si Ikhlas. “Meneladani Rasulullah SAW bagaimana, Ikhlas!?”
“Ya meneladani. Kau tau ‘kan, setelah Siti Khadijah wafat, Rasulullah SAW menikah dengan siapa? Siti ‘Aisyah ‘kan? Nah, artinya Siti ‘Aisyah lah yang menjadi istri pertama Rasulullah SAW setelah wafatnya Siti Khadijah. Setelah itu Rasulullah SAW menikah lagi dengan Hafsah binti Umar bin Khattab r.a., janda almarhum sahabatnya yang gugur dalam Perang Uhud, yang usianya lebih tua 6 tahun daripada ‘Aisyah. Setelah itu, Rasulullah SAW menikah lagi dengan Zainab binti Khuzaimah r.a yang juga janda almarhum sahabatnya yang juga gugur dalam Perang Uhud, yang usianya 17 tahun lebih tua daripada ‘Aisyah r.a. Setelah itu Rasulullah SAW menikah lagi dengan Zaynab binti Jahsy, janda almarhum sahabatnya Zaid bin Haritsah yang juga gugur di medan perang. Usianya bahkan lebih tua 22 tahun daripada ‘Aisyah.”, si Ikhlas menghentikan penjelasannya sejenak untuk menyeruput secangkir teh.
“Nah, artinya aku meneladani cara poligami Rasulullah SAW. Semua istri yang dinikahi oleh Rasulullah SAW ‘kan selalu lebih tua daripada Siti ‘Aisyah r.a., bahkan istrinya yang bernama Zaynab binti Jahsy itu usianya 22 tahun labih tua daripada Siti ‘Aisyah. Ditambah lagi, hanya Siti ‘Aisyah r.a sajalah yang dinikahi oleh Rasulullah SAW dalam keadaan masih gadis dan juga yang paling muda. Kau tau kan, istri-istri Rasulullah SAW yang kedua dan seterusnya ketika dinikahi adalah dalam status janda dan juga jauh lebih tua. ‘Kan sama dengan diriku, satu-satunya istriku yang berstatus gadis waktu aku nikahi hanya istri pertamaku. Istri kedua sampai keempatku semuanya adalah janda mendiang sahabatku dan semuanya juga jauh lebih tua daripada istri pertamaku dan bahkan juga dari diriku sendiri.”, si Ikhlas mengakhiri penjelasannya.
Si Bahlul tampak manggut-manggut dengan mimik aneh. “Memang begitu ya poligaminya Rasulullah SAW?”, tanyanya.
“Iya. ‘Kan sudah diterangkan dalam banyak hadits shahih. Bagaimana sih kau ini, Bahlul. Katanya kau berpoligami karena meneladani Rasul? Kok kau tidak tahu kalau poligami yang dijalani oleh Rasulullah SAW itu yang seperti itu, bukan yang seperti kau jalani itu!?”, jawab si Ikhlas.
Si Bahlul tampak bangkit dari duduknya dengan kesal. “Ah! Kalau model poligami macam begitu, mana ada yang mau. Yang ada stress nanti jadinya. Orang maunya senang, malah susah. Menikah lagi kok sama nenek-nenek. Aduuhhh!!! Lebih baik aku tidak poligami! Tak mau aku kalau model poligami macam begitu!”, ujar si Bahlul dengan kesal.
“Lha katanya kau berpoligami untuk meneladani Rasulullah SAW. Kalau model poligami Rasulullah SAW 'kan memang seperti itu. Bukan cari gadis lagi yang lebih muda dan lebih cantik buat dinikahi.”, si Ikhlas berkata lagi dengan tenang.
Si Bahlul tambah mencak-mencak. “Tidak! Dalam kamusku, tak ada itu model poligami kayak gitu.”, teriak si Bahlul.
“Lha kalau kau tidak mau dengan model poligami seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW itu, lantas kau ini mencontoh siapa, Lul? Seperti kau itu ya, siapa yang kau teladani dalam berpoligami? Rasulullah SAW mencontohkannya tidak seperti poligami yang kau jalani itu. Aku tanya sekali lagi, kau ini mencontoh siapa, Bahlul?”, tukas si Ikhlas dengan nada tegas.
Si Bahlul tidak merespon sama sekali. Ia hanya diam saja dengan mimiknya yang tampak aneh.