Mohon tunggu...
Mirna Aulia
Mirna Aulia Mohon Tunggu... profesional -

Hanya seorang musafir. Generasi anak SD era 80-an. BUKAN pengguna Facebook. BUKAN pengguna Twitter. BUKAN pengguna Linkedin. BUKAN pengguna Path. BUKAN pengguna Instagram. Hanya memiliki empat akun Sosmed: kompasiana.com/raniazahra, mirnaaulia.com, Indonesiana (Mirna Aulia), dan CNN iReport (Mirna Aulia) . Banyak orang memiliki nama yang sama dengan nama musafir (baik di media-media sosial maupun di search engine). Sehingga, selain keempat akun di atas, kalau pembaca menjumpai nama-nama yang sama, itu BUKAN AKUN musafir. Untuk hasil pencarian melalui search engine: musafir BUKAN berlatar belakang dan TIDAK berkecimpung di bidang Kedokteran Gigi, Farmasi, Psikologi, Biologi, MIPA, Kepartaian, Kehutanan, Lembaga-lembaga Kehutanan, maupun Pertanian. Selamat membaca dan semoga artikel yang musafir tulis dapat bermanfaat bagi para pembaca semua. Terima kasih.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Hari Kesehatan Jiwa: Dignity in Mental Health

9 Oktober 2015   13:12 Diperbarui: 9 Oktober 2015   13:12 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama ini sudah sering kita dengar berita-berita tentang banyaknya kasus diskriminasi yang tidak seharusnya terhadap orang-orang dengan masalah kesehatan mental, misalnya penderita bipolar disorder yang dikucilkan oleh keluarganya sendiri, penderita sindrom down yang dikucilkan oleh lingkungannya, orang-orang dengan kelainan homoseksual yang distigma buruk dan tidak diorangkan oleh masyarakat, dan sebagainya.

Contoh diskriminasi lainnya, bahkan oleh pemerintah sendiri, yaitu pasal 57 ayat (3) huruf a di Undang-Undang Pilkada, yang mengatakan bahwa seseorang yang dapat didaftar sebagai pemilih adalah seorang yang sedang tidak terganggu jiwa atau ingatannya. Padahal, sepert dikutip dari Kompas.com, menurut Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, Yeni Rosa Damayanti, “pengidap gangguan jiwa, termasuk gangguan jiwa berat seperti skizofrenia, tak berbeda dari orang lain. Selalu ada stigma dan asumsi di masyarakat kalau penderita gangguan jiwa tidak bisa memilih. Padahal, dengan bantuan obat-obatan dan dukungan sosial masyarakat, mereka dapat menjalani hidup seperti orang pada umumnya. Undang-undang itu (juga) tidak menyebutkan kalau orang yang koma di ICU tidak bisa memilih. Karena orang gangguan jiwa yang sedang dalam posisi gaduh gelisah, itu kan kondisi sementara. Tidak lama. Jadi sesudah itu ya dia biasa lagi.”[27]

Diskriminasi kadangkala juga datang dari kalangan medis sendiri seperti dituturkan oleh Prof Dr dr. Syamsulhadi, SpKJ yang dikutip dari health.detik.com “Tidak hanya oleh orang awam, tapi juga teman-teman sesama dokter yang tidak mengerti (tentang kesehatan jiwa), masih ada perlakuan seperti ini.”[28]

Diskriminasi tidak akan pernah menolong orang-orang yang memiliki masalah kesehatan mental/gangguan kejiwaan, karena hal tersebut justru membuat mereka menarik diri dari masyarakat. Mereka bisa menjadi antisosial dan lebih nyaman hidup dengan dunianya sendiri. Sehingga kondisinya justru akan semakin buruk dari waktu ke waktu.

Kita sebagai warga masyarakat di manapun berada, seharusnya tidak secara serampangan melabelkan istilah sakit jiwa, gila, edan, dan semacamnya. Dalam kapasitas apakah kita bisa dengan mudahnya mengatakan si A gila, si B tidak waras, si C sakit jiwa, si D stress,  si F kelainan, dan sejenisnya? Apakah kita adalah seorang psikiater (ahli jiwa)? Ada orang-orang yang sama sekali tidak memiliki kepakaran apapun dalam ilmu jiwa, hanya berdasarkan ilmu “pe-de” dan ke-ngawuran-nya, lantas menstigma orang lain dengan sebutan sakit jiwa, tidak waras, gila, kelainan, dan sebagainya. Seorang psikolog dan psikiater saja pasti akan dengan sangat hati-hati (berdasarkan keilmuannya) ketika menetapkan diagnosa bahwa seorang pasien positif mengidap kelainan, penyimpangan, atau gangguan mental (kejiwaan).

Stigmatisasi gangguan/sakit jiwa yang dengan sangat mudahnya dilabelkan dalam lingkungan sosial masyarakat adalah sesuatu yang kejam dan justru bisa memperparah keadaan karena membuat orang yang merasakan bahwa dirinya memiliki gejala kelainan atau penyimpangan kejiwaan merasa takut untuk mengakui bahwa dirinya sakit dan tidak menerima kenyataan bahwa dirinya sakit sehingga tidak segera datang ke psikolog atau bahkan ke psikiater agar bisa mendapatkan pertolongan yang tepat untuk gejala sakit atau penyimpangannya. Ia merasa takut akan dikucilkan, takut tidak diterima di lingkungan masyarakatnya (bahkan oleh keluarganya sendiri), juga takut akan menjadi bahan ejekan, olok-olokan, dan gunjingan kalau orang lain sampai tahu bahwa ia memiliki kelainan atau penyimpangan. Sehingga hal tersebut akan berdampak buruk terhadap dirinya sendiri, gejalanya semakin hari semakin parah. Ia akan semakin tenggelam dalam penyakit dan penyimpangannya karena tidak mendapatkan terapi atau pertolongan yang tepat sesuai kebutuhannya. Akibatnya, begitu gejalanya sudah parah sehingga orang-orang di sekelilingnya bisa menyadari adanya ketidakberesan pada dirinya, maka pertolongan itu sudah terlambat, terapi pun menjadi sangat berlarut-larut. Oleh karena itu, kita sebagai sesama warga masyarakat bisa berbuat hal-hal bermanfaat untuk ikut membantu warga masyarakat lain yang memiliki masalah dengan kesehatan mental/jiwanya dengan menahan lidah agar tidak mengucapkan stigma-stigma tanpa dasar kelimuan.

Kadangkala seseorang yang merasakan jiwanya sehat memandang rendah kepada orang-orang yang memiliki masalah kesehatan mental/jiwa, kemudian dengan entengnya mengatakan si A sakit jiwa, tidak waras. Padahal orang yang suka merendahkan orang lain adalah orang yang sombong dan takabur. Kesombongan sendiri juga merupakan penyakit jiwa yang bisa menghancurkan diri sendiri. Artinya, orang berpenyakit jiwa teriak sakit jiwa.

Maka, sebisa mungkin kita hilangkan budaya gampang memberi stigma sakit jiwa, tidak waras, gila, dan sebagainya kepada orang lain, karena kita pun juga harus menengok ke dalam jiwa kita sendiri apakah kita ini sudah benar-benar bebas dari segala macam penyakit jiwa. Apakah kita sudah bebas dari penyakit jiwa iri, dengki, hasud, takabur, sombong, dan sebagainya. Jangan sampai kita dengan percaya diri memberikan stigma sakit jiwa kepada orang lain padahal kita sendiripun mengidap salah satu penyakit jiwa tersebut. Janganlah menjadi si berpenyakit jiwa teriak sakit jiwa kepada orang lain. Lebih baik menjadi jiwa yang sehat yang ikut membantu menyehatkan jiwa orang lain, agar hidup bisa bermanfaat untuk orang lain.

Selamat Hari Kesehatan Jiwa 2015!

 

Seluruh materi dalam artikel ini boleh digunakan dengan mencantumkan sumbernya secara jelas. Mulai menjadi jiwa yang sehat dari diri sendiri. Jadilah penulis yang amanah dengan tidak mencuri hasil pikiran dan tulisan orang lain. Karena mencuri adalah salah bentuk penyakit jiwa yang berbahaya. Mari kita menjadi penulis berjiwa sehat, karena penulis berjiwa sehat akan membuat kita menjadi penulis yang bermartabat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun