Mohon tunggu...
Mirna Aulia
Mirna Aulia Mohon Tunggu... profesional -

Hanya seorang musafir. Generasi anak SD era 80-an. BUKAN pengguna Facebook. BUKAN pengguna Twitter. BUKAN pengguna Linkedin. BUKAN pengguna Path. BUKAN pengguna Instagram. Hanya memiliki empat akun Sosmed: kompasiana.com/raniazahra, mirnaaulia.com, Indonesiana (Mirna Aulia), dan CNN iReport (Mirna Aulia) . Banyak orang memiliki nama yang sama dengan nama musafir (baik di media-media sosial maupun di search engine). Sehingga, selain keempat akun di atas, kalau pembaca menjumpai nama-nama yang sama, itu BUKAN AKUN musafir. Untuk hasil pencarian melalui search engine: musafir BUKAN berlatar belakang dan TIDAK berkecimpung di bidang Kedokteran Gigi, Farmasi, Psikologi, Biologi, MIPA, Kepartaian, Kehutanan, Lembaga-lembaga Kehutanan, maupun Pertanian. Selamat membaca dan semoga artikel yang musafir tulis dapat bermanfaat bagi para pembaca semua. Terima kasih.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cermin Dari Tuhan I (Hakikat Syukur)

11 Juni 2013   18:05 Diperbarui: 2 Oktober 2015   01:34 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hubungan antar manusia demikian kompleks dan kadangkala membingungkan. Hubungan ini memiliki pola yang sukar ditebak karena adanya sifat ketidakkonsistenan yang melekat pada diri manusia. Pada dasarnya manusia adalah makhluk berego sangat tinggi. Senang mementingkan diri sendiri, kecuali bagi orang-orang yang dilindungi oleh Tuhan dari sifat ini.

 

Dalam kehidupan sehari-hari, ketika kita berinteraksi dengan sesama manusia, maka ada saja keegoisan-keegoisan dan kezhaliman yang kita perbuat. Seringkali kita membicarakan teman atau tetangga dengan pembicaraan yang tidak baik. Adakalanya juga kita memuliakan teman atau tetangga kita dengan sikap saling memberi. Misalnya, kita membagi makanan yang kita miliki dengan teman atau tetangga dekat kita. Pada saat berbuat ini, perasaan kita senang karena kita merasa sudah berbuat baik.

 

Adakalanya kita juga dihadapkan pada suatu peristiwa tak terduga. Misalnya, ketika pagi-pagi kita membuang sampah, tiba-tiba mata kita melihat sepotong makanan yang kita berikan kepada tetangga kemarin sudah teronggok di tempat sampah. Saat itu kita langsung merasa emosi, jengkel, dongkol, dan marah karena pemberian kita ternyata disia-siakan. Ditambah dengan rasa sedih dan sakit hati karena makanan yang kita beli dari hasil kerja keras kita dibuang begitu saja.

 

“Tahu begitu saya tidak akan memberi dia, lebih baik saya berikan kepada orang yang lebih membutuhkan saja, karena pasti dimakan dan tidak sampai dibuang begini. Pokoknya, besok-besok saya tidak akan memberikan dia makanan lagi daripada dibuang-buang begini!”. Nah lho!

 

Mengapa kita merasa marah, jengkel, sakit hati, dan sedih? Karena kita merasa telah mendapatkan makanan tersebut dari hasil kerja keras kita. Kita membelinya dengan susah payah, dan niat kita membaginya dengan tetangga adalah untuk menjaga tali silaturrahmi, memuliakannya, serta untuk beramal kepada Tuhan. Inilah sebenarnya satu hal yang menunjukkan ketidakkonsistenan dan keegoisan kita sebagai seorang hamba Tuhan.

 

Dengan berperilaku tidak konsisten seperti itu, berarti kita merusak hubungan kehambaan kita dengan Tuhan, karena hubungan kehambaan ini seharusnya bersifat suci dan ikhlas . Kita seharusnya tidak perlu sakit hati dan seharusnya merasa malu kepada Tuhan yang Maha Pemberi, karena pada hakikatnya rezeki yang kita nikmati berupa pekerjaan dan uang yang selanjutnya kita gunakan untuk membeli makanan, sehingga kita dapat berbagi dengan sesama tersebut adalah milik Tuhan Semesta Alam. Manusia hanyalah perantara saja, dan tidak berhak untuk marah. Tuhan saja yang merupakan pemilik sejati dari rezeki yang kita bagikan masih berbelas kasih kepada makhluk-Nya walaupun mereka menyia-nyiakan nikmat  karunia-Nya.

 

Lalu, mengapa kita yang pada hakikatnya tidak memiliki apapun dan tidak berhak mengklaim bahwa makanan yang kita beli dengan kemurahan rezeki dari Tuhan itu adalah milik kita , harus merasa marah, kecewa, dan sakit hati ketika apa yang kita bagi dengan orang lain disia-siakan? Hanya Tuhan-lah yang berhak marah kepada hamba-Nya yang menyia-nyiakan rezeki-Nya, sedangkan kita hanya berkewajiban menyerah ikhlas kepada kehendak-Nya setelah kita melakukan kebajikan dan beramal.

 

Kalau kita demikian kesalnya ketika pemberian kita tidak dihargai oleh orang lain, maka tentu kita dapat memahami kemarahan Tuhan ketika kita tidak menghargai apa yang Tuhan karuniakan (berikan) kepada kita. Tuhan telah menganugerahkan rezeki dari segala arah dan dalam bentuk yang dikehendaki-Nya untuk kita. Tuhan juga telah mencukupi segala kebutuhan pokok hidup kita. Bernafas, melihat, mendengar, berbicara, berjalan, berbadan sehat dan kuat, sehingga dengan sarana kenikmatan itu  kita mampu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup kita. Kita dapat berfikir dan mencari nafkah untuk dunia kita. Kita dapat beribadah dan beramal untuk bekal kehidupan akhirat kita. Tuhan pun telah memberi kita materi duniawi sehingga kita dapat  membeli rumah, pakaian, makanan, dan kendaraan. Kita juga dikaruniai dengan anak keturunan, keluarga, dan sebagainya.

 

Namun, kembali lagi kepada sifat dasar manusia yang egois dan tidak pernah puas, sehingga membuat kita merasa kurang dan kurang terus. Kita ingin terus menambah apapun yang sudah kita dapatkan. Membeli banyak rumah, namun hanya satu yang ditempati, sementara yang lain dibiarkan kosong dengan alasan untuk investasi. Di lemari pun menumpuk banyak pakaian yang bahkan sebagian belum pernah terpakai karena terlalu banyaknya kita membeli, dengan alasan untuk koleksi. Kita juga membeli banyak makanan yang kita gemari, dan akhirnya tidak dihabiskan dengan alasan kekenyangan, lalu kita membuangnya ketika makanan tersebut menjadi busuk karena belum sempat termakan. Ketika membuangnya, hati kecil kita sering merasa bersalah, “Maafkan saya Ya Tuhan, karena saya membuang makanan ini.”, bahkan batin kita pun tahu bahwa apa yang kita lakukan itu tidak benar, ruh suci kita tidak menyetujui apa yang diperbuat oleh jasmani kita, dan menyuarakannya melalui bahasa batin tersebut.

 

Kemudian, kita dikaruniai panca indera lahir. Tuhan menitipkannya kepada kita dengan tujuan agar kita dapat memanfaatkannya sesuai dengan kehendak-Nya, yaitu untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada-Nya, dan tidak mempergunakan amanah itu untuk hal-hal yang dibenci-Nya.

 

Namun, kebanyakan dari kita ternyata tidak dapat menjaga titipan atau amanah Tuhan itu. Kita menggunakannya untuk hal-hal yang dibenci-Nya. Kita memanfaatkannya untuk melihat, mendengar, berbicara, dan berjalan pada kemaksiata, kemudharatan, dan kesia-siaan. Pada intinya, hampir seluruh karunia titipan Tuhan kita gunakan untuk sesuatu yang tidak bermanfaat .

 

Coba bayangkan apabila Tuhan lantas mangatakan kepada kita, “Menyesal Aku memberi  mereka panca indera, kalau disia-siakan begitu. Pokoknya, Aku tidak akan memberi mereka panca indera lagi. Aku tidak akan memberi mereka mata, telinga, hidung, mulut, tangan, dan kaki lagi. Aku tidak akan memberikan mereka rezeki lagi. Lebih baik, Aku berikan kepada hamba-Ku yang buta, tuli, lumpuh, bisu, sakit-sakitan, dan miskin saja, karena mereka lebih membutuhkan, sehingga pasti tidak akan disia-siakan.”

 

Coba bayangkan, apabila Tuhan mengatakan ini kepada para hamba-Nya, niscaya banyak sekali dari penduduk bumi ini yang akan menjadi manusia cacat fisik, miskin papa tanpa harta dan kebahagiaan serta sakit-sakitan. Namun, keluhuran dan kemahabesaran sifat Tuhan tidak akan dapat dibandingkan dengan kerendahan dan kekerdilan sifat manusia. Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Pengampun, bahkan kepada para hamba-Nya yang mendustakan dan menyia-nyiakan nikmat karunia-Nya pun Tuhan tidak mencabut karunia titipan-Nya. Ia masih terus memberi dan memberi kepada kita para hamba-Nya. Sementara kita acapkali menyebut-Nya tidak adil begitu secuil nikmat titipan-Nya itu di ambil-Nya kembali. Kita jarang merenungkan, seandainya Tuhan menghadapi kita dengan keadilan-Nya, maka hanya segelintir saja manusia yang dapat selamat, yang lain pasti akan binasa karena siksaan Tuhan jika Ia mendasarkan balasan dan pahala berdasarkan timbangan keadilan-Nya.

 

Egoisme manusia dan kerendahan budi pekertinya kepada Allah SWT.

Kita begitu sakit hati dan marah ketika mengetahui barang pemberian kita disia-siakan. Padahal kita mampu berbagi dan memberi adalah karena kemurahan rezeki dari Tuhan. Dengan makanan milik Tuhan, dengan rezeki milik Tuhan, dengan karunia kemampuan milik Tuhan, dengan kehendak dan izin Tuhan juga. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk marah dan sakit hati ketika pemberian kita disia-siakan, karena pada hakikatnya, apapun yang sanggup kita berikan dan kita bagi dengan sesama itu hanyalah milik Tuhan semata, bukan milik kita. Kita akan menjadi sombong apabila kita mengklaim bahwa semua yang kita punyai di dunia ini adalah milik kita. Bibit kesombongan itulah yang akan membuat kita merasa kecewa dan sakit hati jika ada yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Padahal kesombongan itu adalah milik Tuhan. Seperti difirmankan Tuhan dalam sebuah Hadist Qudsi :

 

"Sesungguhnya kesombongan itu adalah selendang-Ku, barangsiapa merampas

selendang-Ku, maka Aku akan melemparkan dia ke dalam Jahannam, dan Aku haramkan syurga baginya."

 

Kita datang ke dunia ini tidak membawa apa-apa, hanya jasmani yang itupun adalah karunia Tuhan. Jadi tidak ada yang dapat kita akui sebagai milik kita. Semua hanyalah titipan yang sewaktu-waktu dapat diambil-Nya kembali jika Ia menghendaki.

 

Ketika pemberian kita disia-siakan atau tidak dimanfaatkan dengan baik, maka itu adalah urusan orang yang kita beri dengan Tuhan, sedangkan untuk kita cukuplah niat ikhlas kepada Tuhan untuk memanfaatkan titipan-Nya kepada kita, di jalan yang dikehendaki-Nya. Tuhan yang Maha Mengetahui pasti tidak akan menyia-nyiakan niat baik dan amal ikhlas hamba-Nya.

 

Ketika kita berniat untuk tidak akan memberi dan berbagi lagi, maka hal yang demikian ini adalah suatu bentuk kesombongan kita. Sebab kita merasa sanggup memberi dan berbagi, padahal kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada diri kita pada detik berikutnya. Bisa saja kita jatuh miskin atau sakit, sehingga kita tidak mampu lagi memberi dan berbagi, bahkan kita justru membutuhkan bantuan dan pertolongan dari orang lain. Dapat saja maut menjemput kita, padahal kita sedang dalam niat yang jelek (tidak akan berbagi dan memberi lagi). Hidup kita semua di dunia ini selalu berada di ujung tanduk. Dan kita tidak akan mampu mengetahui bagaimana nasib kita selanjutnya. Segala yang terjadi dengan diri kita ini hanyalah berdasarkan kehendak-Nya atas diri kita, dan semua makhluk selalu bergantung pada kemurahan dan belas kasih-Nya.

Di sisi lain, ketika kita menyalahgunakan karunia Tuhan, kemudian Dia mencabutnya, kita tidak rela, terus mengumpat, menganggap Tuhan tidak adil. Kita terus mengeluh, seakan-akan kita tidak memiliki kesalahan dan dosa. Maka benarlah jika kita adalah manusia yang egois dan tidak memliki rasa malu kepada Tuhan. Tetapi, untungnya Tuhan masih berkenan menganggap kita sebagai hamba-Nya dan masih bersedia menjadi Tuhan kita, sehingga kita masih terus diberi dan diberi oleh-Nya, kita masih terus diampuni dan diampuni oleh-Nya. Karena seumpama Tuhan sudah tidak berkenan lagi menganggap kita sebagai hamba-Nya, niscaya hancur dan binasalah kita. Maha Suci Tuhan. Segala puji hanyalah milik-Nya.

 

Artikel ini direpost di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun