Yoon Suk Yeol lahir pada 18 Desember 1960 di Seoul, Korea Selatan. Ia merupakan Presiden Korea Selatan ke-20, mulai menjabat sejak bulan Mei 2022. Sebelum menjadi presiden, Yoon Suk Yeol memiliki karier panjang sebagai seorang pengacara dan jaksa yang dikenal tegas. Ia merupakan lulusan jurusan hukum di Universitas Nasional Seoul, salah satu universitas terkemuka di Korea Selatan. Kariernya di bidang hukum dimulai pada tahun 1994, ketika ia resmi menjadi seorang jaksa. Selama menjabat sebagai jaksa, Yoon dikenal karena menangani sejumlah kasus besar, termasuk skandal korupsi yang melibatkan pejabat tinggi pemerintahan. Dedikasi dan kerja kerasnya di dunia hukum membuat namanya semakin dikenal publik.
Pada Maret 2022, Yoon Suk Yeol terpilih sebagai Presiden Republik Korea setelah memenangkan pemilihan umum. Namun, masa pemerintahannya tidak berjalan mulus. Sejak bulan April 2022, pemerintahannya menghadapi tantangan besar setelah kubu oposisi, yang didominasi oleh partai liberal, menang telak dalam pemilihan umum. Hal ini membuat pemerintahan Yoon tidak memiliki kendali di parlemen, sehingga banyak RUU yang diajukan oleh pemerintahannya tidak dapat disahkan. Sebaliknya, parlemen yang dikuasai oposisi sering kali meloloskan RUU yang harus diveto oleh Yoon. Situasi ini membuat pemerintahannya terlihat lemah dan tidak efektif di mata publik.
Tantangan politik yang dihadapi Yoon semakin diperburuk oleh sejumlah skandal korupsi yang muncul sepanjang masa jabatannya. Salah satu skandal yang paling mencuri perhatian adalah dugaan keterlibatan Ibu Negara dalam penerimaan barang mewah, termasuk tas bermerek Dior, serta manipulasi saham. Skandal ini tidak hanya mencoreng citra Yoon di mata masyarakat, tetapi juga memicu kemarahan publik dan tuntutan dari kubu oposisi untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut. Meski akhirnya Yoon meminta maaf secara terbuka di televisi nasional dan membentuk satuan tugas untuk mengawasi kinerja Ibu Negara, ia menolak permintaan oposisi untuk melakukan penyelidikan yang lebih mendalam. Langkah ini dianggap oleh banyak pihak sebagai bentuk kurangnya transparansi pemerintah.
Popularitas Yoon terus menurun drastis akibat skandal ini. Tingkat dukungannya anjlok hingga menyentuh angka sekitar 17%, salah satu yang terendah bagi seorang presiden di Korea Selatan. Situasi ini mendorong kubu oposisi untuk mengambil langkah lebih lanjut dengan mengusulkan RUU pemotongan anggaran pemerintah yang tidak dapat diveto, sekaligus bergerak untuk memakzulkan sejumlah anggota kabinet dan jaksa tinggi. Beberapa di antaranya termasuk kepala badan audit pemerintah, yang dianggap gagal menyelidiki dugaan keterlibatan Ibu Negara dalam skandal korupsi tersebut.
Puncak dari konflik politik ini terjadi pada awal Desember 2024, ketika Yoon Suk Yeol mengeluarkan keputusan darurat militer yang mengejutkan banyak pihak. Keputusan ini diumumkan pada malam hari, tepatnya pukul 23.00 waktu setempat pada tanggal 3 Desember 2024. Dalam pidato nasionalnya, Yoon menyatakan bahwa keputusan darurat militer diambil untuk melindungi Korea Selatan dari apa yang ia sebut sebagai "kekuatan anti-negara." Ia menuding kubu oposisi sebagai simpatisan Korea Utara, meskipun tidak memberikan bukti yang konkret atas tuduhan tersebut. Langkah ini menimbulkan kemarahan besar, baik di kalangan politisi maupun masyarakat umum.
Darurat militer berarti militer mengambil alih kendali pemerintahan untuk sementara waktu, terutama ketika otoritas sipil dianggap tidak mampu menjalankan tugasnya. Dalam konteks Korea Selatan, darurat militer terakhir kali diberlakukan pada tahun 1979, ketika diktator militer Park Chung-hee dibunuh. Sejak Korea Selatan menjadi negara demokrasi parlementer pada tahun 1987, darurat militer tidak pernah lagi diterapkan. Oleh karena itu, keputusan Yoon ini dianggap sebagai langkah mundur bagi demokrasi Korea Selatan. Di bawah darurat militer, kebebasan sipil masyarakat ditangguhkan, termasuk larangan terhadap protes, pembatasan aktivitas politik oleh anggota parlemen, dan kendali ketat terhadap media.
Tak lama setelah deklarasi darurat militer, militer Korea Selatan mulai mengambil langkah-langkah untuk mengamankan situasi. Sejumlah polisi dikerahkan untuk memblokir akses menuju gedung parlemen. Media lokal melaporkan ketegangan yang terjadi di sekitar gedung parlemen, di mana para pengunjuk rasa dan anggota parlemen dari kubu oposisi mencoba menembus barikade keamanan. Beberapa anggota parlemen bahkan memanjat pagar untuk dapat memasuki ruang tempat pemungutan suara.
Di sisi lain, Lee Jae-myung, pemimpin Partai Demokrat yang merupakan partai oposisi terbesar, menyerukan perlawanan terhadap deklarasi darurat militer. Ia meminta semua anggota parlemen dari partainya untuk berkumpul di parlemen guna menolak keputusan tersebut. Selain itu, ia juga mengajak warga sipil Korea Selatan untuk datang dan menyuarakan protes mereka di depan gedung parlemen. Seruan ini mendapat tanggapan luas dari masyarakat, yang berbondong-bondong datang untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka terhadap langkah Yoon.
Pada 14 Desember 2024, situasi politik Korea Selatan mencapai titik kritis ketika parlemen mengambil langkah untuk memakzulkan Presiden Yoon Suk Yeol. Pemakzulan ini dilakukan setelah dokumen resmi terkait keputusan darurat militer diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi. Dengan keputusan parlemen tersebut, kekuasaan dan tugas kepresidenan Yoon ditangguhkan sementara waktu. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan, Perdana Menteri Han Duk-soo ditunjuk sebagai pejabat presiden. Dalam pernyataannya, Han menyebut pemakzulan ini sebagai kemenangan rakyat dan berjanji akan memastikan pemerintahan berjalan stabil selama proses pemakzulan berlangsung. Ia juga menegaskan komitmennya untuk mencurahkan segala upaya demi menjaga stabilitas negara.
Proses pemakzulan Yoon kini berada di tangan Mahkamah Konstitusi Korea Selatan. Berdasarkan undang-undang, Mahkamah Konstitusi memiliki waktu hingga 180 hari atau sekitar enam bulan untuk memutuskan apakah akan memberhentikan Yoon secara permanen atau memulihkan kekuasaannya sebagai presiden. Jika Mahkamah Konstitusi mendukung pemakzulan, maka Yoon akan menjadi presiden kedua dalam sejarah Korea Selatan yang dilengserkan melalui proses ini, setelah Park Geun-hye pada tahun 2017. Selain itu, jika Yoon benar-benar diberhentikan, pemilu untuk memilih presiden baru harus diadakan dalam waktu maksimal 60 hari.
Langkah darurat militer yang diambil oleh Yoon menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, Yoon berdalih bahwa tindakan ini diperlukan untuk mengatasi situasi politik yang menurutnya sudah tidak terkendali. Namun, di sisi lain, banyak pihak menganggap langkah ini sebagai ancaman serius terhadap demokrasi Korea Selatan. Sejumlah pengamat politik menyebut bahwa tindakan Yoon mencerminkan kemunduran dalam sistem pemerintahan yang seharusnya mengutamakan supremasi hukum dan hak-hak sipil masyarakat.
Meski militer telah mengumumkan pembatasan terhadap aktivitas politik dan media, perlawanan dari masyarakat sipil dan politisi terus berlangsung. Demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai kota di Korea Selatan, dengan ribuan orang turun ke jalan untuk menuntut pencabutan darurat militer dan pengembalian pemerintahan kepada otoritas sipil. Media nasional seperti Yonhap masih terus memberitakan situasi terkini, meskipun ada kekhawatiran bahwa pemerintah akan berusaha mengambil alih kendali media dalam waktu dekat.
Keputusan darurat militer Yoon juga memicu reaksi keras dari komunitas internasional. Beberapa negara, termasuk Amerika Serikat dan Jepang, menyatakan keprihatinan mendalam atas perkembangan politik di Korea Selatan. Mereka menekankan pentingnya menjaga prinsip demokrasi dan hak asasi manusia di negara tersebut. Sementara itu, organisasi internasional seperti PBB dan Amnesty International mendesak pemerintah Korea Selatan untuk mencabut darurat militer dan menghormati hak-hak dasar warganya.
Masa depan politik Yoon Suk Yeol kini berada dalam ketidakpastian. Dengan proses pemakzulan yang sedang berlangsung, keputusan Mahkamah Konstitusi akan menjadi penentu apakah ia akan tetap memegang jabatan presiden atau harus lengser. Situasi ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga keseimbangan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam sistem demokrasi. Selain itu, kasus ini juga menyoroti perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan, terutama ketika menghadapi tuduhan skandal atau penyalahgunaan wewenang.
Jika Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan untuk memberhentikan Yoon dari jabatannya, maka Korea Selatan harus bersiap menggelar pemilu presiden dalam waktu dekat. Pemilu ini akan menjadi momen penting bagi negara tersebut untuk memilih pemimpin baru yang mampu membawa stabilitas dan kepercayaan kembali kepada rakyat. Di sisi lain, jika Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk memulihkan kekuasaan Yoon, tantangan besar menanti, terutama dalam membangun kembali kepercayaan publik yang telah terkikis selama masa pemerintahannya.
Dengan semua dinamika yang terjadi, situasi politik di Korea Selatan saat ini menjadi salah satu yang paling kompleks dalam sejarah modern negara tersebut. Deklarasi darurat militer, skandal korupsi, dan konflik antara eksekutif dan legislatif menjadi gambaran jelas bagaimana sebuah negara demokrasi dapat menghadapi tantangan besar ketika prinsip-prinsip dasar pemerintahan mulai terganggu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H