Mohon tunggu...
Raniansyah Rahman
Raniansyah Rahman Mohon Tunggu... -

Aku biasa dipanggil 'Rani', paling hobi nulis dan baca puisi....

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Motivasi Untuk Yang Pernah Merasakan Pahit Kehidupan

18 Februari 2013   10:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:06 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seharusnya Berterima Kasih (BUKAN kecewa)

Oleh : Raniansyah

Saat ini, dini hari(10 Februari 2013) saya terbangun sekitar pukul 03.00 WITA tidak tidur lagi sampai pagi, tidur hanya 2 jam..:D ingin menulis pengalaman.*** Seharusnya saya belajar dan bercermin bahwa setiap kata-kata harus dilandasi dengan landasan faktual yang mendalam, tidak sekedar landasan teoritis yang mungkin saja diragukan.  Saya salah!, selama ini saya mungkin terlalu terpacu pada teori tanpa peduli dengan praktik, padahal untuk menjadi seorang penulis yang bisa disenangi pembaca, kemampuan tidak hanya sekedar kemampuan mengotak-atik kata tetapi juga harus mampu membuat sebuah cerita mengalir  karena diangkat dari kisah nyata dari si penulis.  Dini hari ini, saya berfikir bahwa tidak ada cerita yang benar-benar fiktif, karena pasti selalu saja ada sekelumit dari cerita tersebut yang sebenarnya telah terjadi kepada diri sendiri dan orang lain. Pastinya itu merupakan skenario Tuhan dan tentunya itu menarik. Untuk menulis tentang cinta tentu penulis yang pernah jatuh cinta akan lebih mengerti dibanding penulis yang belum pernah merasakan cinta, begitupun dengan benci, sakit hati, kecewa, dan lain sebagainya. Jelas yang pernah mengalami/merasakan lebih pantas dipercaya. Tapi saya tidak!, mungkin, jika saya seorang penulis maka saya akan memutuskan melepaskan gelar saya sebagai penulis daripada saya harus merasakan sakit hati. Mungkin penulis lain akan mencobanya karena tulisan-tulisan semacam perasaan sakit hati itu tidak pernah lapuk dan selalu disenangi sejumlah kalangan, ini tentunya menaikkan pamor mereka di depan publik. Tapi mungkin saya memang bukan bakal penulis karena sakit hati itu rasanya benar-benar  sakit, ketika bagian itu yang sakit. Sepertinya semua indera, sulit lagi bersahabat dengan tubuhnya dan jujur saya tidak ingin merasakan itu.



Di sisa malam (9 Februari 2013) saya kecewa, saya sakit hati, saya malu dan saya tertawa. Katanya seorang penulis itu harus kuat, dan tahan banting terhadap segala hal. Teringat peristiwa pembredelan pers (Detik, Tempo dan Editor) pada masa orde baru, tapi toh! mereka selalu bangkit dan memperjuangkan tulisan mereka. Saya selalu mengatakan “Jangan menangis, karena itu tanda lemah. Dan itu bukti bahwa kita benar-benar kalah”, teori itu setelah malam ini, mungkin takkan pernah lagi saya katakan. Saya merasakan sendiri bahwa keadaanlah yang memaksa seseorang menangis sehingga saya tidak akan pernah lagi melarang seseorang menangis tapi mungkin saya akan berusaha menghapus air matanya, mungkin begini lebih baik.. “menangislah sepuasmu, hingga kau merasakan rasa sakitmu terobati, sampai kau merasa sakit itu terangkat dari palung hatimu” .

Alhamdulillah Tuhan masih menguatkan saya, saya masih mampu menahan untuk tidak menangis  hingga jemari ini sanggup bergulat diatas keyboard laptop, merangkai sejumlah kata-kata yang telah kupikirkan, lebih tepatnya menghantuiku di sepanjang perjalanan kembali ke rumah dari lokasi Islamic camp di desa Ale’ Sipitto yang kuperkirakan berjarak tidak kurang dari 15 km. Tiga puluh menit lebih dalam perjalanan itu, hanya kata-kata penyesalan yang tampak dihadapanku. Malam itu, saya ke lokasi Islamic Camp karena dua hal,  karena NASIONALISME dan  karena CINTA,  tapi hampir saja keduanya tidak saya temukan.  Sesampaianya saya disana, seperti tidak ada hal yang menarik. Mungkin itu tanda agar saya segera pulang, tim qasidah sekolahku, undian tampilnya belum kena juga. waktu bergulir begitu cepat menghampiri tengah malam,  kedua sahabat yang bersamaku ke lokasi ingin pulang karena waktu memang telah larut malam. Saya masih menunggu untuk mencapai tujuan kedua, untuk tujuan pertama setidaknya saya telah datang mendukung mereka sebagai wujud nasionalisme, lebih rincinya sih! SEKOLAHISME…hehe. Beranjak mencoba tujuan kedua. Yah!, saya benar-benar ingin menyaksikan dia (3010) tampil, dia yang bla,…bla…yang banyak kuceritakan pada keyboard laptopku tanpa sepengetahuannya.  Tapi nomor undian tim sekolahnya, termasuk dia belum kena juga, saya mencoba berkomunikasi dan mengajaknya ngobrol tapi saat itulah saya kecewa karena sungguh responnya menandakan sesuatu yang sama sekali tidak dibutuhkan menandakan bahwa saya malam itu hanya semak tanpa arti. Sebenarnya  saya memang tidak pernah mau dan malu mencobanya karena terus terang, saya tidak pernah ngobrol dengan cewek dalam lingkup spesial. Tapi ada kedua sahabat yang memotivasi untuk mencoba, dan percobaan pertama gagal segagal-gagalnya. Saya tidak tahu akan mencobanya lagi atau tidak? mengulang sakit hati yang sudah saya rasakan, saya mencoba tersenyum dan tertawa di depan teman-teman sekolahku, walau sakit itu telah menjerat internalku.  Hmm…saya hanya ingin berterima kasih kepadanya, dia telah memberi saya praktik, sehingga sekarang saya lebih paham dengan sakit hati dan sekarang saya bebas menulis tentang sakit hati, setidaknya saya sudah memiliki satu pengalaman dan bisa dipercaya, dibanding mereka yang selalu saja menulis….menulis…menulis tapi tidak pernah merasakan. Terima kasih yah!, walaupun sakit, ini pengalaman yang sangat berharga sekaligus sebagai bukti ekstrimnya dunia kasih-sayang, lebih ekstrim daripada perjalanan ke lokasi Islamic Camp malam itu.

Saya memang cukup kaget ketika sampai di tenda perkemahan sekolahku karena teman-teman di sana langsung menceritakan insiden pada saat lomba (maaf!, saya tidak perlu menyebutkan insidennya). Tiba-tiba ketika teman itu bercerita tentang dia (3010), seorang cowok yang sama sekali tidak kukenal, bukan teman sekolahku, sepertinya merespon nama dia dengan sangat berbeda, seperti sesorang yang begitu kenal dan dekat , “ iyo, dia…dia manai dia?” (kata dia merupakan samaran dari nama asli cewek yang kumaksud (3010)), itu katanya sambil kelihatan panik melihat sekelilingnya. Respon yang sangat aneh, dan membuat saya tersinggung. Bagaimana mungkin, ada seorang teman yang responnya sampai segitunya seperti tanda begitu peduli dan suka???.  Entah apa yang saya rasakan? Saya tersinggung, cemburu atau apa?. Fajri dan Rangga yang waktu itu terus bersamaku, ternyata merespon sama dengann yang kupikirkan “eh…nulihatji itu tadi cowok yang di depan tenda? Apa nabilang waktu disebutki namanya ………… kayak mencurigakan sekali…tapi bukan kulihat teman ato adek kelasta itu,” kata Fajri kepadaku.. benar! ternyata ada yang merasakan hal yang sama dengan apa yang kupikirkan. Tapi saya mencoba membuang jauh-jauh perasaan itu karena saya sudah yakin dan percaya pada 3010, mungkin cowok itu aja…yang asal. Mencoba melupakan itu, walaupun respon cowok itu masih terbayang hingga tulisan ini mengalir. Saya mencoba mencapai tujuan saya ke kegiatan Islamic Camp itu.

Tapi malam itu, bisa jadi merupakan malam terburuk sekaligus berharga dalam hidup saya, saya kembali belajar bahwa ini tidak hanya sekedar kata-kata tetapi jauh lebih luas dari itu dan tidak sesederhana yang selalu terpikirkan. Mungkin bisa saja selama ini, saya memberi masukan dan saran kepada seseorang tentang perasaan, tapi sungguh saya tidak pernah paham dengan kejadian sebenarnya karena sungguh baru malam itu saya belajar. “ oh ternyata begini rasanya,” gumamku. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah sekitar pukul 11.00 WITA, kulihat kecepatan motorku pada speedometer hanya berkisar 20-25 km/jam, sangat lambat untuk perjalanan yang lumayan jauh, ektrimnya perjalanan waktu itu, tidak kurasakan lagi. Gelap, sepi, dan batas-batas perkampungan yang sering dianggap keramat tak lagi kupedulikan. Benar-benar konyol, kok bisa-bisanya saya berfikir “ kalau saya dipanggil Tuhan malam ini, biarkan saja,” saya sampai melupakan cita-cita untuk mengenakan almamater kuning dengan panji merah. Tapi ketika saya menulis tulisan ini, saya berfikir, “Tuhan,…tolong jangan panggil saya, sebelum cita-cita saya terwujud, sebelum orang-orang yang pernah memberi saya cinta dan benci merasakan hasil kerja saya, sebelum masyarakat kampung saya bangga karena saya, sebelum Indonesia beruntung karena ada saya,” terlalu kePedean bukan?, haha…setiap orang berhak berpendapat, berserikat dan bercita-cita dan itu hak asasi.

Seharusnya saya berterima kasih (BUKAN kecewa), malam itu saya belajar sakit hati karena cinta untuk pertama kalinya….dan malam itu saya belajar dan yakin bahwa teori tanpa praktik bagaikan sayur tanpa garam, kelihatan enak tapi kalau tidak ada garamnnya, rasanya kan tidak lucu? Haha. Terima kasih untuk orang yang memberiku pelajaran malam itu. Kini saya tidak perlu lagi takut untuk menulis tentang cinta dan sakit hati karena kan saya sudah merasakannya. Memang rasanya sakit, dicuekin itu sakit, direspon tidak baik itu sakit, atau apapun yang menurut kalian sakit. Tapi yakinlah sakit-sakit itu kelak akan bermanfaat bagi orang banyak.  Tergantung kita sih!, darimana kita mau memandangnnya, kalau kita mau berspektif positif, tentu semuanya akan baik-baik saja apapun yang terjadi. Tidak perlu ada kata ‘sorry’ kata orang bugis, atau ‘maaf’ kata orang Indonesia, atau ‘addampeng’ kata orang Inggris dari orang yang membuat kita sakit itu. Karena seharusnya kita berterima kasih, dia telah mengajarkan kita satu hal lagi. Seperti peyakit cacar, seseorang yang sudah terkena penyakit cacar. Sebagian besar tidak akan pernah terjangkit lagi karena sudah ada proteksi dari dalam tubuh yang mengenali jenis penyakit itu sehingga ketika muncul gejalanya, segera ditanggulangi, sama halnya dengan orang yang belajar naik motor, sulit baginya untuk ahli banting stir kiri-kanan kalau tidak pernah terjatuh, Valentino Rossi kan pernah terjatuh saat balapan di sirkuit, betul kan?. Begitupun dengan perasaan, kalau kita hanya merasakan manisnya, lama-kelamaan juga bosan. Sekali-kali rasakan yang pahit, asin, etc dengan begitu kita tentu belajar  tentang ilmu yang sangat bermanfaat. Pare contohnya, siapa yang menyangka buah/sayur  keriput nan pahit itu banyak bermanfaat bagi kesehatan terutama masalah pencegahan dan penanganan kanker. Tidak selamanya manis itu bermanfaat, toh! manis bisa membuat diabetes….dan tidak selamanya pahit itu tidak baik. Intinya pandang segala sesuatu dengan positif . INSYAALLAH!! Hasilnya positif. Jangan pernah takut untuk sakit, sakit hati…dan sakit-sakit yang lain karena dari situ ada manfaat dan pelajaran. Saya buktinya!, jika saya tidak sakit hati malam itu (9 oktober 2013) maka tulisan ini pasti tidak akan pernah kalian baca. Berterima kasihlah kepada orang yang membuat kita sakit, karena itu tanda kasih sayang…jadi kalau kita sukses jangan pernah melupakan orang/sesuatu yang pernah membuat kita sakit. Tuhan kan kadang membuat kita sakit karena DIA peduli dan sayang kepada kita, tapi pasti DIA juga bakal menyembuhkan kita. PercayalahJ!*(rn1130)

Pangkep, 10 Februari 2013

lihat juga tulisan aku di Kolong Sastra Merah-Putih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun