Aqua dan Le Minerale menjadi sorotan publik setelah PT Tirta Investama, produsen Aqua, terbukti melanggar tiga pasal sekaligus dalam Undang-Undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat pasal 15 ayat (3) huruf b yang berbunyi "Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok. Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok"
Jakarta - Kontroversi melanda persaingan industri air minum dalam kemasan ketika konflik antaraKemudian pasal 19 yang berbunyi "Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
- menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
- menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
- membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau
- melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Dan pasal 25 UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Yang berbunyi "Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:
- menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau
- membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
- menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.
Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:
- satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau
- dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Pada kasus tersebut PT Tirta Investama produsen dari Aqua melarang outlet di Jabodetabek menjual produk Le Minerale, larangan tersebut tertuang dalam surat perjanjian yang harus di sepakati oleh pedagang outlet. Kemudian para pedagang tersebut membuat laporan ke KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) pedagang membuat pengakuan bahwa mereka di halangi PT Tirta Investama untuk menjual produk Le Minerale yang di produksi oleh PT Tirta Fresindo Jaya milik Mayora Group. Dengan ancaman jika suatu pedagang menjual Le Minerale maka statusnya akan di turunkan dari start outlet menjadi (SO) menjadi Wholesaler (Eceran). Secara harfiah, Dengan memonopoli suatu bidang, maka terbuka kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan sendiri. Disini monopoli diartikan sebagai kekuasaan menentukan harga, kwalitas dan kwantitas produk yang ditawarkan kepada masyarakat. Masyarakat tidak pernah diberi kesempatan untuk menentukan pilihan, baik mengenai harga, mutu maupun jumlah.
Di Indonesia dengan system ekonomi pancasila secara implisit justru mengakui adanya monopoli oleh negara, yaitu terdapat dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, suatu pasar dikatakan terjadi monopoli apabila ; pelaku usaha sebagai price maker mutlak tidak ada pesaingan; adanya entry barrier bagi pelaku usaha lain yang ingin masuk pasar yang sudah di monopoli. Dalam kondisi dimikian, masyarakat tidak mempunyai alternative lain kecuai memberli produk yang di monopoli tersebut dan akan terjadi pula inefisiensi dalam menghasikan produk.
Pada dasarnya dalam ekonomi Islam, monopoli tidak dilarang, siapapun boleh berusaha/berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain, asalkan tidak melanggar nilai-nilai Islam. Dalam hal ini yang dilarang berkaitan dengan monopoli adalah ikhtikar, yaitu kegiatan menjual lebih sedikit barang dari yang seharusnya sehingga harga menjadi naik untuk mendapatkan keuntungan di atas keuntungan normal, di dalam istilah ekonomi kegiatan ini disebut sebagai monopoly’s rent seeking behaviour. Sehingga sekarang dapat dibedakan antara monopoli dan ikhtikar dalam terminology ekonomi Islam. Pelarangan ikhtikar bersumber dari Hadits Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang menyatakan bahwa, “Tidaklah orang melakukan ikhtikar kecuali ia berdosa.” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Dalam riwayat yang lain Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa memonopoli bahan makanan selama empat puluh hari, maka sesungguhnya ia telah berlepas diri dari Allah dan Allah berlepas diri darinya.” (HR Ahmad).
Secara umum, etika periklanan bisa diartikan sebagai kumpulan ketentuan normatif yang berkaitan dengan profesi serta usaha di bidang periklanan yang telah disepakati bersama, dan hendaknya diterapkan dalam menjalankan usaha periklanan. Maka dari itu, diperlukan kontrol ketat untuk menghindari iklan yang tidak sesuai dengan nilai etika dan moral. Inilah yang menjadi salah satu fungsi utama etika periklanan. Etika periklanan di Indonesia diatur dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI), versi terbaru amandemen 2020, yang diterbitkan oleh Dewan Periklanan Indonesia.
Dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI) Amandemen 2020 dijelaskan sejumlah poin mengenai periklanan. Berikut penjelasan singkatnya: Definisi iklan, iklan korporat, iklan layanan masyarakat, iklan produk pangan, iklan nirkomesial, iklan komersial, iklan spot, iklan televisi waktu-blokiran, dan lain sebagainya. Definisi tentang segala hal yang berkaitan dengan periklanan, seperti fotografer, anak, balita, bayi, konsumen, khalayak, media, lembaga penegak etika, dan lain-lain. Tata krama terkait isi iklan, bahasa, tanda asteris, pencantuman harga, garansi, janji pengembalian uang, agama serta budaya, rasa takut dan takhayul, kekerasan, dan seterusnya.
Pembagian ragam iklan, antara lain minuman keras, rokok dan produk tembakau, obat-obatan, produk pangan, vitamin, mineral, dan suplemen, produk peningkat kemampuan seks, kosmetika serta produk perawatan tubuh, dan lain sebagainya. Kriteria pemeran iklan yang mencakup anak-anak, perempuan, jender, pejabat negara, tokoh agama, anumerta, pemeran sebagai duta merek (brand ambassador), orang dengan kebutuhan khusus (difabel), tenaga profesional, pemeran yang mirip tokoh nasional atau internasional, pemeran lainnya, hewan, serta tokoh animasi. Ketentuan wahana iklan, yakni media cetak, elektronik, radio, bioskop, media luar-griya, media daring, layanan pesan singkat, promosi penjualan, pemasaran atau penjualan langsung, perusahaan basis data, penajaan (sponsorship), gelar wicara (talk show), periklanan informatif, pemaduan produk, penggunaan data riset, subliminal, dan subvertensi (subvertising).
Dewasa ini dunia periklanan di Indonesia semakin kreatif dalam membuat eksekusi iklan, tidak seperti zaman dahulu bentuk eksekusi iklan hanyalah media-media konvensional seperti iklan televisi, radio dan iklan di media cetak. Sekarang iklan sudah berkembang dari era konvensional menjadi era digital, dimana iklan sudah hadir dalam medium ini seperti contohnya youtube ads, pop up ads dan E-mail ads.
Namun karena desakan promosi yang semakin kompetitif seringkali insan kreatif periklanan mengesampingkan efek yang akan diterima oleh konsumen dari eksekusi iklan yang mereka ciptakan, padahal efek tersebut selain dapat memberikan kesesatan pemakanaan iklan, juga dapat memberikan nilai-nilai yang negatif dimata penonton iklan.
Etika Pariwara Indonesia lahir sebagai pedoman bagi para insan kreatif periklanan, dalam etika pariwara indonsia (EPI, 2007) menjelaskan bahwa Etika Pariwara Indonesia diperlakukan sebagai sistem nilai dan pedoman terpadu tata krama (code of conducts) dan tata cara (code of practices) yang berlaku bagi seluruh pelaku periklanan Indonesia. Keberadaan Etika Pariwara Indonesia juga sangat berperan penting dalam membuat suatu eksekusi iklan yang benar dan tidak menyesatkan masyarakat luas. Seperti tertuang dalam poin asas Etika Pariwara Indonesia (EPI, 2007) yang menjunjung tiga poin yaitu:
- jujur, benar, dan bertanggungjawab.
- bersaing secara sehat.
- melindungi dan menghargai khalayak, tidak merendahkan agama, budaya, negara, dan golongan, serta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Dalam asas tersebut dapat kita mengetahui bahwa keberadaan Etika Pariwara Indonesia ini merupakan suatu keharusan karena akan menjaga khalayak banyak yaitu masyaratakat indonesia. karena Etika Pariwara Indonesia menjunjung kejujuran, kebenaran dan juga melindungi masyarakt luas dari kesesatan pemakanaan akan suatu iklan, dan juga mendorong para insan kreatif periklanan agar menciptakan suatu budaya dan suasana persaingan yang sehat tanpa membawa dan juga merendahkan kompetitor kedepan masyarakat luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H