Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang  disahkan oleh DPR dan pemerintah memiliki keunggulan dibandingkan kitab undang-undang pidana sebelumnya. Salah satu manfaat ini terkait dengan load balancing. Masalah pidana nasional mengatur keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan  individu, yaitu yang disebut kesetimbangan undualistik.
Dengan kata lain, hukum pidana melihat baik sisi objektif kejahatan maupun sisi subjektif pelakunya. Karena pertimbangan satu dualistik ini, asas-asas dasar hukum pidana, yaitu asas legalitas dan asas bersalah tetap dipertahankan dalam hukum pidana nasional. Asal mula legalitas merujuk pada perbuatan, dan asas bersalah mengacu pada orang atau pelaku. Mengenai asas legalitas, hukum pidana baru memperluas kata-katanya dengan memasukkan pengakuan ketetapan hukum yang hidup (hukum  tidak tertulis) atau hukum umum.
Perluasan asas legalitas tidak lepas dari gagasan untuk menciptakan dan menjamin keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat serta  kepastian hukum dan keadilan. Keseimbangan lain berkaitan dengan perlindungan  pelaku  dan korban kejahatan. Hukum pidana lama tidak ada ketentuan bagi korban, karena hanya pelaku.  Dalam hukum pidana lama, ancaman hukuman berat bagi pelaku muncul untuk melindungi korban.
Padahal, perlindungan itu belum  nyata. KUHP yang baru juga menyeimbangkan antara hak asasi manusia dan kewajiban hak asasi manusia, sehingga tidak hanya menuntut hak tetapi juga  kewajiban. Ini  berbeda dengan KUHP lama RKUHP, disetujui sebagai undang-undang, mulai berlaku  tiga tahun setelah persetujuan resminya. Seluruh lapisan masyarakat Indonesia masih memiliki waktu untuk beradaptasi dengan perubahan sistem peradilan pidana yang ada.  KUHP mulai berlaku hanya tiga tahun setelah mulai berlaku, yaitu sampai pada tahun 2025
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H