Sore tadi dikala saya membuka notice dari kompasiana mengenai topik pilihan, di mana tertulis tentang pekerja informal. Setelah saya baca ternyata di dalamnya ada sedikit menyinggung tukang parkir.
Hal ini mengingatkan saya akan sebuah peristiwa, bukan peristiwa sih tapi lebih ke pengalaman atau kejadian yang pernah terjadi.Â
Saya adalah seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi yang ada di Lampung. Salah satu kebutuhan yang paling penting bagi mahasiswa adalah buku. Terlebih jika mahasiswa semester akhir, akan lebih membutuhkan buku guna menggarap tugas akhir atau skripsi. Buku-buku ini biasanya didapat dari meminjam di perpustakaan. Tapi, akan lebih baik jikalau memiliki atau membelinya sendiri.Â
Beberapa bulan berlalu, rupiah demi rupiah saya kumpulkan, entah itu sisa uang jajan dari orangtua, atau dari hasil saya bekerja. Sebenarnya sih saya belum bekerja, hanya saja ada sedikit rizky yang Tuhan berikan melalui sedikit ilmu yang saya dapatkan.
Sebagai tabungan, uang tersebut saya belanjakan untuk membeli buku. Ceritanya mau nabung buku nih, bukan nabung uang. Sebab, uang jika ditabung pasti akan terpakai apalagi nabungnya hanya di rumah secara mandiri.Â
Sampailah saya di sebuah toko buku, di mana saya masuk dan memilih-milih buku yang saya butuhkan. Setelah selesai, ada tukang parkir di luar, motor saya di tutup kardus agar tak kepanasan, kemudian setelah saya keluar motornya  dibalikkan, lalu saya di sebrangkan. Sungguh baik bapaknya, padahal hanya dengan membayar dua ribu rupiah yang mungkin bagi orang-orang besar tidaklah berharga uang segitu. Tapi bagi orang-orang kecil amatlah berharga.
*
Beberapa bulan berlalu, teman saya akan seminar proposal. Karena dikabarkannya mendadak dan saya bingung hendak memberikan apa untuk hadiah. Mampirlah saya ke toko buku tersebut. Dengan terburu-buru saya mengambil buku yang cocok, kemudian saya bayarkan, kalau ga salah dulu harganya 50 ribu.Â
Ketika itu uang saya pas dan hanya tinggal 100 ribu gak kurang dan ga lebih. Â Lalu, saya keluar. Saya lupa bahwa saya tidak memiliki uang untuk membayar parkir. Saya berikannya uang tersebut, tapi bapaknya menolak, dengan terburu-buru dan bingung ternyata saya dibiarkan tidak membayar parkir. Beberapa hari berlalu, saya kembali ke toko buku itu. Saya berniat hendak membayar parkir yang tempo itu belum saya bayarkan. Ternyata, bapak tukang parkir itu tidak ada, bahkan tidak ada yang menunggu motor saya.Â
Beberapa hari berlalu, saya kembali ke toko buku. Bapak tersebut tidak lagi ada, tetapi malah ada tukang parkir baru. Ya Allah, kemana bapak tukang parkir kemarin.
Dengan penyesalan, dan saya selalu terbayang-bayang. Â Saya berharap dapat bertemu lagi.
Tukang parkir adalah pekerjaan yang mulia menurut saya, bagaimana tidak, hanya sedikit uang yang perlu kita sisakan dan motor kita aman, aman dari pencuri, aman dari panas dan hujan. Tapi, kebanyakan orang, lebih memilih yang gratisan. Bahkan uang dua ribu rupiah sangat diperhitungkan. Miris memang, terkadang saya pun masih begitu.Â
Kita juga bisa belajar dari tukang parkir. Ada quotes yang mengatakan: "Belajarlah dari tukang parkir, ia memiliki banyak motor dan mobil, tapi ia tidak pernah sombong dan selalu sadar bahwa semua itu hanyalah titipan."Â
Benar bahwa semua yang kita miliki di dunia ini tidaklah ada yang abadi, dan hanyalah titipan dari Sang Ilahi yang dapat sewaktu-waktu diambil kembali.
Mulai sekarang, mari sisihkan sedikit untuk mereka. Tak hanya kepada tukang parkir, melainkan juga pekerja informal lain. Jangan sampai menyesal seperti saya. Terkadang, pekerjaan kecil lebih berharga daripada besar tapi harus selalu waspada. Pejabat yang korupsi misalnya, eh keceplosan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H