Data mengejutkan baru-baru ini diungkap oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Hasil skrining kesehatan jiwa calon dokter spesialis pada Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) oleh Kementerian Kesehatan RI pada Maret 2024, menunjukkan bahwa 2.716 calon dokter spesialis mengalami gejala depresi dan mirisnya 3,3 persen atau 399 mahasiswa diantaranya, mengaku merasa lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri sendiri.
Skrining yang baru pertama kali diadakan oleh Kementerian Kesehatan RI dilakukan kepada total 12.121 calon dokter spesialis yang dilakukan di 28 rumah sakit vertikal (rumah sakit yang berada di bawah pengelolaan Kemenkes) menggunakan kuesioner Patient Health Questionnaire-9 atau PHQ-9.
Dari total peserta PPDS yang mengalami gejala depresi paling tinggi ditemukan pada peserta yang berasal dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta sebanyak 22,4%, Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung 12,9% dan Rumah Sakit Sarjito Yogyakarta 12%, Rumah Sakit Ngurah Rai Bali 10,5% dan Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar 8,8%.Â
Beberapa Faktor Penyebab Depresi
Ada berbagai faktor penyebab depresi calon dokter spesialis. Yang pertama adalah calon dokter PPDS harus mengemban pendidikan bersamaan dengan pelayanan rumah sakit. Selain belajar, calon dokter spesialis juga harus memberikan pelayanan di rumah sakit vertikal serta merawat pasien di bawah bimbingan supervisornya.Â
Seperti yang sudah kita ketahui Rumah Sakit Vertikal memiliki jumlah pasien yang banyak dan tingkat okupasi tinggi, sehingga para PPDS harus membagi waktu antara pendidikan dan pelayanan rumah sakit seperti jaga malam, melayani keluhan pasien, laporan pasien, presentasi kasus, membuat jurnal dan lain sebagainya. Beberapa mahasiswa mungkin ada yang keteteran mengikuti ritme pendidikan seperti ini.Â
Yang kedua adalah faktor ekonomi karena praktis pada saat pendidikan para PPDS tidak bisa bekerja dan memperoleh penghasilan. Sedangkan sebagian besar mahasiswa PPDS sudah berkeluarga dan memiliki anak. Jadi harus menanggung kebutuhan keluarga dan juga biaya-biaya diluar biaya pendidikan dokter spesialis.
Yang terakhir dan faktor yang menjadi isu terbesar penyebab depresi dan pencetus gangguan kesehatan mental adalah adanya perundungan dari para senior yang di justifikasi atas nama pendidikan mental yang pada akhirnya menjadi tradisi dan hal yang lumrah terjadi.
Sudah menjadi rahasia umum dan nyata terjadi adanya perundungan para senior kepada para mahasiswa PPDS yang kadang diluar batas kemanusiaan. Dari beberapa kasus dan perbincangan di kalangan para PPDS bahwa para senior memberi penugasan yang bukan merupakan bagian daripada tugas pendidikan dan lebih ditujukan untuk kepentingan pribadi seperti mengantar makanan, minta dibelikan pulsa hingga minta dibelikan barang-barang pribadi dan sebagainya.
Belum lagi adanya kekerasan verbal yang dialami. Tidak jarang para senior memaki-maki dengan kata-kata kasar pada yuniornya di hadapan pasien. Dan rata-rata mereka tidak boleh melaporkan tindakan perundungan tersebut.
Berdasarkan data yang telah diverifikasi terkait investigasi perundungan di kalangan PPDS, Kemenkes telah menerima 216 laporan perundungan di kalangan PPDS dan beberapa telah ditindak lanjuti. Sekitar 62 persen perundungan terjadi secara non fisik dan non verbal dan sisanya terjadi perundungan verbal, fisik, sampai cyber bullying.
Upaya Penanganan dan Tindak Lanjut dari Kementrian Kesehatan RI
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah memerintahkan untuk segera melakukan penanganan demi menyelamatkan mahasiswa PPDS terutama yang terindikasi mengalami depresi berat.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, dr Siti Nadia Tarmizi dalam wawancaranya dengan salah satu stasiun TV menyatakan bahwa Kemenkes telah membentuk tim penanganan gangguan kesehatan mental mahasiswa PPDS terutama yang mengalami depresi berat.
Kemenkes akan bekerja sama dengan rumah sakit jiwa vertikal dibawah Kemenkes yaitu Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan Jakarta, Rumah Sakit Jiwa dr.Radjiman Malang dan Rumah Sakit Jiwa Marzoeki Mahdi, Bogor yang bertindak sebagai kepala tim penanganan untuk memberi pelayanan melalui telemedicine ataupun tatap muka langsung.
Sedangkan dalam menindak lanjuti laporan pengaduan perundungan yang masuk, akan di lakukan proses monitoring dan klarifikasi berdasarkan bukti-bukti untuk memastikan apakah betul-betul terjadi perundungan. Â
Sanksi akan diberikan baik kepada institusi pendidikan maupun pelaku perundungan. Bagi pelaku perundungan dan senior yang memberi perintah akan dikembalikan dari rumah sakit vertikal kepada institusi pendidikannya untuk kemudian di skors 6 bulan sampai dengan 1 tahun baru bisa melanjutkan pendidikannya kembali.
Selain itu mahasiswa PPDS di himbau untuk melaporkan kasus perundungan ke Kanal yang telah disediakan oleh Kemenkes. Selama ini belum ada wadah atau saluran pengaduan yang dirasa aman bagi para peserta PPDS yang mengalami perudungan untuk melaporkannya agar kemudian ditindak lanjuti.
Dengan adanya saluran pengaduan yang aman para PPDS ini nantinya diharapkan akan berani speak up dan juga berani untuk menyampaikan proses perundungan yang telah terjadi di saat mereka menempuh pendidikan.
****
Bullying, feodalisme dan senioritas masih melekat pada budaya kita di segala aspek baik itu pada sistem pendidikan maupun di lingkungan kerja yang kemudian menjadi kebiasaan dan "budaya" turun-temurun.Â
Sistem budaya inilah yang harus diputus rantainya demi mencegah perundungan oleh oknum senior yang sering menyuruh untuk kepentingan pribadi dan melakukan kekerasan verbal yang menjatuhkan mental tanpa ada unsur mendidik.
Para mahasiswa PPDS kadang harus memberi pelayanan rumah sakit vertikal hampir 7x24 jam sehari nonstop termasuk pelayanan di hari libur dan akhir pekan. Pada akhirnya mereka mengalami kelelahan mental dan fisik padahal harus berhadapan dengan nyawa manusia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H