Mohon tunggu...
Rani Sakraloi
Rani Sakraloi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Student of Communication Science

Passionate about writing and sharing it.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pelecehan Seksual: Bukan tentang Pakaian tetapi Mindset

30 Oktober 2022   14:20 Diperbarui: 30 Oktober 2022   14:45 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PELECEHAN SEKSUAL: BUKAN TENTANG PAKAIAN TETAPI MINDSET

Tak dapat dipungkiri bahwa banyak hati yang terluka mendengar rentetan kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi. Tak hanya luka bagi korban dan keluarga, tetapi bagi kita juga yang menyaksikan berita tentang kasus tersebut. Korbannya tak hanya orang dewasa, tetapi juga anak di bawah umur. Pelakunya bahkan bisa berasal dari orang terdekat korban, yang seharusnya melindungi korban dari kekerasan.

Tak jarang pelecehan seksual juga sering terjadi di lingkup pendidikan, seperti sekolah maupun universitas. Padahal perbuatan ini seharusnya sudah diberantas mulai dari lingkungan keluarga dan lembaga pendidikan. Menurut databooks.katadata.co.id, pelaku kekererasan di lembaga pendidikan yang dilaporkan sepanjang 2015-2020 ialah guru/ustaz, dosen, kepala sekolah, murid, pelatih, dan lain-lain.

Dengan jumlah sebanyak 22 kasus, guru/ustaz merupakan pelaku yang paling banyak dilaporkan. Laporan mengenai kasus pelecehan di lembaga pendidikan menunjukkan perlu adanya evaluasi dan aksi akan sistem penyelenggaraan pendidikan yang bebas diskriminasi dan aman terhadap perempuan. Namun, kasus yang diadukan seperti ini merupakan puncak gunung es karena kasus-kasus kekerasan di lingkup pendidikan tidak diadukan atau dilaporkan.

Banyak yang beranggapan bahwa pelecehan hanya bisa terjadi pada perempuan. Faktanya, pelecehan dan kekerasan seksual bisa dialami siapa saja, baik perempuan, anak-anak, bahkan laki-laki. Alasan mengapa kasus pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan lebih disorot adalah hasil dari stereotip bahwa perempuan merupakan makhluk yang lemah dan laki-laki dianggap kuat sehingga hal tersebut tidak terlalu berarti.

Jika terjadi pelecehan terhadap diri perempuan maka mereka akan dianggap juga terlibat terhadap hal tersebut, entah melalui perilaku atau cara berpakaiannya. Sedangkan, jika laki-laki yang mengalaminya maka respon yang muncul adalah bahwa hal tersebut hanya candaan semata. Berdasarkan statistik dari National Sexual Violence Reasearh Center (NSVR) dilaporkan bahwa 81% wanita dan 43% pria mengalami beberapa bentuk pelecehan dan/atau penyerangan seksual dalam hidup mereka.

Disadur dari Kompas.com, terdapat 797 anak yang menjadi korban kekerasan seksual sepanjang Januari 2022 menurut laporan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Sedangkan, dalam laman komnasperempuan.go.id diterangkan bahwa terkumpul 338.496 jumlah aduan kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan ke Komnas Perempuan, lembaga layanan, dan BADILAG yang tercatat oleh ATAHU 2022. Data-data ini terkumpul berdasarkan kasus yang dilaporkan sehingga masih ada banyak kasus di luar sana yang tidak terdata oleh beberapa alasan.

Menyalahkan korban kekerasan seksual karena memicu viktimisasinya sendiri adalah praktik yang cukup umum terjadi di masyarakat. Mereka acapkali disalahkan melalui asumsi bahwa setidaknya korban juga memiliki peran yang mengakibatkan pelecehan terhadap dirinya terjadi. Korban dipojokkan bahwa diri mereka sendirilah yang memicu serangan melalui gaya "provokatif" yang dipandang sebagai persetujuan akan aktivitas seksual. Oleh karena itu, banyak korban memilih untuk diam dan tak melaporkan apa yang mereka alami.

Tuduhan perempuan "meminta" kekerasan seksual dengan pakaian terbuka tampaknya didiskreditkan karena wanita melaporkan tidak memiliki niat seperti itu sama sekali (Avigail Moor, 2010).  Lebih lanjut, dalam penelitian Avigail Moor juga menjelaskan bahwa kesenjangan atribusi berbasis gender di mana laki-laki melaporkan melihat tampilan seksual sebagai indikasi minat pada seks untuk merayu. Sedangkan, perempuan menyebutkan bahwa keputusan mereka memakai pakaian yang mereka kenakan ialah karena keinginan mereka untuk merasa terlihat dan menarik.

Hasilnya menunjukkan temuan bahwa objektifikasi seksual yang meluas terhadap perempuan dan konstruksi sosial kecantikan, pada kenyataannya, tidak ada hubungannya terhadap pakaian dan viktimisasi seksual dalam bentuk apa pun. Perempuan sepenuhnya menolak klaim rayuan dari cara berpakaiannya. Dengan kata lain, perempuan ataupun korban kekerasan seksual mengenakan apapun itu bentuk pakaiannya untuk kepentingannya sendiri, bukan untuk dirayu.

Pada tahun 2018, kelompok pendukung korban CAW di Belgia mengelar pameran yang mengangkat judul "Is it my fault?". Di pameran ini terpajang sejumlah pakaian yang ternyata merupakan milik para korban perkosaan. Selain itu, pameran ini menjadi salah satu bentuk pengajaran dan bukti bahwa kekerasan seksual bukanlah salah dari korban dan apa yang dikenakannya. Yang dapat dilihat dari pameran ini adalah bahwa pakaian-pakaian tersebut adalah pakaian yang biasa dikenakan.

Korban mengenakan pakaian biasa seperti kaos dan celana panjang serta sudah mengenakan pakaian yang tertutup dan longgar. Lalu, mengapa pelecehan dan kekerasan seksual masih sering terjadi? Satu-satunya orang yang bertanggung jawab dan mencegah terjadinya pelecehan seksual adalah pelaku perkosaan itu sendiri.

Perempuan sering diajarkan untuk mengenakan pakaian yang layak dan berperilaku santun. Mereka diajarkan berbagai hal untuk menghormati laki-laki, menjaga dirinya sendiri, dan mengerti tubuhnya. Sayangnya, laki-laki tidak dididik serupa dengan perempuan. Laki-laki jarang diajarkan untuk menghargai perempuan.

Edukasi mengenai seks sering dianggap tabu, tetapi penting untuk diajarkan sedari dini. Hal inilah yang menjadi alasan mendasar untuk mencegah dan mengurangi pelecehan seksual. Dengan edukasi yang baik maka pola pikir juga menjadi lebih terarah dan terbuka. Mindset yang terbuka luas tidak akan dengan sempitnya berpikir untuk melakukan tindakan merendahkan dan melakukan kekerasan terhadap sesamanya.

Komnas Perempuan pada tahun 2020 menyajikan statistik kekerasan seksual dan diskriminasi menurut jenjang pendidikan. Data menunjukkan kasus yang paling banyak terjadi ialah di universitas, pondok pesantren, dan sekolah (SMA/SMK, SMP, dan seterusnya). Bila kita perhatikan, mahasiswa dan murid pondok pesantren ataupun sekolah tentunya akan mengenakan pakaian yang formal serta rapi.

Dilansir dari bbc.com, pada tahun 2021 pelaku pemerkosa 13 santriwati, Herry Wirawan selaku pemilik dan pengurus Pondok Tahfiz Al-Ikhlas di Bandung, diganjar hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung. Para santriwati menjadi sangat trauma dan kasus ini juga melukai hati keluarga mereka.

Tidak hanya itu, kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pesantren tidak hanya terjadi sekali. Menurut Nong Andah Darol Mahmada selaku aktivis perempuan menyatakan bahwa fenomena kekerasan seksual yang berulang di pesantren ini terjadi karena kuatnya relasi kuasa di lingkungan pesantren. Bahkan dengan pakaian tertutup dan perilaku yang santun pun tak membuat predator seksual mampu menahan dirinya. Sekali lagi, semua itu kembali kepada pelakunya.

Detik.com memaparkan hasil survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang menyimpulkan bahwa pakaian terbuka yang dikenakan perempuan tidak menjadi penyebab pelecehan seksual. Bahkan 17% korban pelecehan seksual mengenakan pakaian tertutup.

"Korban yang berhijab sekitar 17%, merupakan jumlah gabungan antara hijab pendek dan hijab panjang," ungkap pendiri kelompok perEMPUan, Rika Rosita. "Hasil survei ini jelas menunjukkan bahwa tak ada hubungan antara pakaian yang dikenakan korban dengan pelecehan seksual," lanjut Rika kepada detik.com.

Pelaku seringkali terbebas dari tuduhan akan potensi terjadinya pelecehan seksual. Sebaliknya, korban justru disalahkan atas perbuatan pelaku. Oleh karena itu, mindset yang tepat mengenai kasus seperti ini perlu diubah dan dihapuskan. Korban hanya ingin mengekspresikan atau merasa nyaman dengan apa yang dikenakannya bukan merupakan simbol izin untuk rayuan. Masyarakat harus open minded dengan tidak asal menyalahkan korban atau melindungi perbuatan pelaku.

Kita perlu waspada dan berhati-hati karena meskipun kita sudah merasa aman, kriminalitas bisa terjadi tanpa kita sadari. Bagi anak-anak mari kita ajarkan untuk saling menghargai dan melindungi. Sebagai orang tua juga harus membagikan edukasi mengenai pengenalan akan bagian tubuh sejak dini kepada anak. Ajarkan pula cara untuk melindungi diri meskipun kita juga tidak boleh membiarkan anak lepas dari pengawasan begitu saja.

Perempuan juga sangat rawan terhadap pelecehan seksual. Oleh karena itu, sebagai perempuan perlu menghindari bepergian dengan orang yang baru dikenal dan sangat penting untuk tegas serta belajar melindungi diri sendiri. Bagi perempuan maupun laki-laki sangat dianjurkan untuk dibekali dengan pendidikan seksual.

Pada dasarnya, pola pikir yang benar akan mengendalikan perilaku kita pula. Harapannya agar kita sebagai masyarakat bisa semakin sadar mengenai perlindungan terhadap korban dan menolongnya. Kita harus saling mendukung satu sama lain dan tidak menjatuhkan. Jadilah masyarakat, keluarga, teman, pengajar, atau pelajar yang bijak serta berguna bagi lingkungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun