Mohon tunggu...
Rangga Jafar Alshaadiq
Rangga Jafar Alshaadiq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura

Hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pelanggaran Etika Aparat Hukum Dalam Menegakkan Keadilan yang Hanya Bergantung Pada Viralitas

21 Desember 2024   19:31 Diperbarui: 21 Desember 2024   19:31 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah maraknya penggunaan media sosial hingga lahirnya slogan "No Justice, No Viral" menjadi simbol ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dalam menegakan sistem hukum yang sering kali dianggap lamban dan diskriminatif. Fenomena ini mencerminkan situasi di mana keadilan hanya terwujud ketika suatu kasus menjadi viral. Namun, benarkah hal ini menjadi solusi bagi ketidakadilan, atau justru menjadi bukti kegagalan sistem penegakan hukum kita?

Fenomena No Justice, No Viral

Slogan ini mengacu pada ketidakpuasan masyarakat yang merasa bahwa perhatian terhadap kasus-kasus tertentu, terutama yang melibatkan ketidakadilan, sering kali baru muncul setelah tekanan dari publik melalui media sosial. Contohnya, kasus kekerasan, pelecehan, atau penyalahgunaan wewenang kerap kali tidak direspons serius dikarenakan pelaku yang bersangkutan memiliki kedudukan yang lebih tinggi atau bisa saja pihak pelapor tidak memiliki kedudukan tinggi dan dikesampingkan laporannya  sampai terdengar oleh para masyarakat hingga bukti kejadian tersebut menyebar luas di dunia media sosial.

Viralitas di media sosial telah terbukti menjadi senjata yang efektif bagi masyarakat untuk mendorong respons cepat dari pihak berwenang. Sayangnya, hal ini menciptakan kesan bahwa tanpa sorotan publik, banyak kasus tidak akan pernah mendapat perhatian yang layak. Situasi ini memunculkan pertanyaan besar tentang integritas dan efisiensi sistem hukum kita.

Ketidakadilan dalam penegakan hukum merupakan salah satu masalah utama yang memunculkan ketidakmerataan perhatian terhadap kasus-kasus yang tidak viral.

Hal ini menyebabkan penurunan profesionalisme para penegak hukum

dalam menegakkan keadilan sesuai dengan sistem hukum yang ideal. Seharusnya para penegak hukum beroperasi berdasarkan prinsip keadilan, independensi, dan imparsialitas. Namun, ketika pihak berwenang hanya merespons kasus yang viral, profesionalisme mereka dipertanyakan. Hal ini mengarah pada asumsi bahwa tekanan publik lebih efektif daripada proses hukum itu sendiri, yang dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum. Di era sekarang ini media sosial sering kali menjadi arena "pengadilan publik," di mana opini masyarakat menggantikan proses hukum yang seharusnya. Dalam banyak kasus, tersangka telah dihukum secara sosial meski belum terbukti bersalah. Fenomena ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan, tetapi juga melemahkan prinsip dasar bahwa seseorang tidak bersalah sampai terbukti di pengadilan.

Fenomena "No Justice, No Viral" juga menunjukkan adanya kelemahan mendasar dalam sistem hukum kita. Beberapa penyebab utamanya antara lain: Proses hukum yang lambat, Banyak kasus tersendat oleh birokrasi atau kurangnya sumber daya, sehingga masyarakat merasa tidak ada pilihan lain selain menekan pihak berwenang melalui media sosial. Kurangnya transparansi seperti minimnya akses informasi tentang perkembangan kasus sering kali membuat masyarakat beralih ke media sosial untuk mencari keadilan.

Ketidakpercayaan terhadap institusi hukum menyebabkan rasa tidak percaya terhadap keadilan sistematis mendorong masyarakat untuk mencari alternatif yang lebih efektif, meskipun itu melalui cara-cara informal seperti viralitas.

Peran Media Sosial Sebagai Harapan Keadilan

Media sosial memang telah menjadi alat yang ampuh untuk membongkar ketidakadilan dan memberikan suara kepada mereka yang sering diabaikan. Banyak kasus besar yang akhirnya terungkap berkat tekanan publik melalui platform digital.

Contohnya seperti penangkapan anak bos toko roti yaitu George Halim yang ditangkap karena terbukti melakukan penganiayaan dan intimidasi terhadap karyawannya. Pihak korban telah melaporkan kekerasan tersebut. Namun, aparat penegak hukum dalam menangani kasus tersebut sangat lamban dalam menyelesaikannya, hingga kasus tersebut viral baru aparat penegak hukum tersebut baru menyelesaikan kasus tersebut dengan puncaknya yaitu penangkapan pelaku.

Dari contoh kasus tersebut, keadilan sistem hukum indonesia sering dikesampingkan, hingga puncaknya terlalu mengandalkan media sosial sebagai penggerak utama keadilan untuk membawa risiko besar. Keberhasilan sebuah kasus tidak boleh diukur dari jumlah "like" atau "share," karena ini mengarah pada ilusi bahwa keadilan adalah sesuatu yang bersifat populer, bukan universal.

Selain itu, media sosial juga rentan terhadap manipulasi informasi, penyebaran berita palsu, dan eksploitasi kasus untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Membangun Sistem Hukum yang Lebih Kuat

Agar fenomena seperti "No Justice, No Viral" tidak menjadi norma, diperlukan reformasi mendasar dalam sistem hukum kita. Beberapa langkah yang perlu diambil meliputi:

  • Peningkatan Transparansi: Institusi hukum harus lebih terbuka dalam memberikan informasi terkait perkembangan kasus, sehingga masyarakat tidak merasa perlu menggunakan media sosial sebagai alat pemantau.
  • Mempercepat Proses Hukum: Memangkas birokrasi dan meningkatkan efisiensi penanganan kasus dapat mengurangi ketergantungan pada tekanan publik.
  • Pendidikan Hukum untuk Masyarakat: Masyarakat perlu diberi pemahaman tentang mekanisme hukum yang ada, sehingga mereka dapat mempercayai proses formal tanpa harus mengandalkan media sosial.
  • Penguatan Etika dan Profesionalisme Penegak Hukum: Aparat penegak hukum harus memastikan bahwa semua kasus ditangani dengan serius, tanpa memandang tingkat eksposur media atau tekanan publik.

Kesimpulan

"No Justice, No Viral" adalah cerminan dari ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem hukum yang ada. Para penegak hukum sering kali mengesampingkan kewenangannya dalam melayani masyarakat untuk menegakkan keadilan sesuai dengan sistem hukum diindonesia. Hal tersebut menyebabkan pelanggaran kode etik profesi aparat penegak hukum,banyak kasus kasus yang dibiarkan begitu saja oleh aparat penegak hukum. Hal tersebut menjadikan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dalam menegakkan keadilan sesuai dengan sistem hukum diindonesia hingga  masyarakat berinisiatif memviralkannya kasus tersebut di publik dan akhirnya aparat penegak hukum baru membuka kembali kasus tersebut untuk menyelesaikannya. Dari beberapa kasus kasus yang meski harus diviralin terlebih dahulu, seharusnya aparat penegak hukum dengan wewenangnya harus meneggakkan keadilan sesuai dengan sistem diindonesia. Meski media sosial telah memberikan platform untuk mengangkat isu-isu penting, keadilan tidak boleh bergantung pada popularitas suatu kasus. Penegakan hukum harus dilakukan secara merata, transparan, dan independen, tanpa memandang apakah kasus tersebut viral atau tidak. Untuk itu, reformasi sistem hukum yang mendasar menjadi hal yang mendesak agar keadilan benar-benar dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun