Tak lama lagi kita sebagai umat Islam bersua kembali dengan Ramadhan - untuk selama 30 hari kita berpuasa - dan pada penghujungnya kita merayakan Hari Raya Idul Fitri (Lebaran). Walau bukan suatu keharusan, namun sudah menjadi kelaziman masyarakat di Indonesia, bahwa jauh hari sebelum Lebaran tiba kita pun berbelanja secara ekstra, dialokasikan terutama pada pakaian, produk makanan/ minuman, sepatu, gawai, dan beberapa barang favorit lainnya.
Tak ayal, rutinitas tahunan ini tentu disambut baik oleh pelaku pasar, produsen dan pemasok dari barang-barang tersebut di atas. Sebagai calon konsumen kita dijejali oleh berbagai iklan, yang gigih menawarkan barang dagangan beraneka ragam. Termasuk tentunya, produk impor 'terselubung' ataupun yang terang-terangan menggelar merk berpamor pada etalase di pusat-pusat perbelanjaan.
Perang Harga atau Perang Gengsi, di dalam hati?
Konsumen yang rasional tentu akan memilih -- sesuai preferensinya - barang yang murah (pengorbanan sekecil-kecilnya) dan/ atau memiliki kualitas sebagus mungkin.
Maka di dalam benak - melalui kalkulator alam bernama otak - Â kita akan membanding-bandingkan harga untuk produk tertentu, pakaian misalnya.
Tapi kala cara memilih ini kita percayakan pada yang namanya emosi, maka niscaya pilihan kita jatuh kepada produk yang prestisius, walaupun lebih mahal dari barang sejenisnya yang tak berlabel merk terkenal.
Baiklah, hal tersebut sah-sah saja, asalkan tidak memaksakan isi dompet (budget).
100% Cinta Indonesia?
Namun, pemilihan tersebut berubah krusial atau bahkan dilematis, ketika ketika dihadapkan slogan cantik "Cintailah Produk Indonesia". Tak pelak, rasa nasionalisme segera menyeruak ke benak kita. Bagai video yang terunggah dengan otomatis, terbayang para petani kapas yang tengah menanam, terlukis wajah-wajah penuh harap keluarga yang menyambutnya sesaat setelah memanen. Bak siluet yang bersambung-sambungan, tergambar pula bagaimana buruh konveksi di suatu pabrik, tengah menjahit, bergerak monoton seperti robot seharian, menghasilkan pakaian-pakaian berwarna-warni.
Kesadaran (awareness) kita tergugah.
Para petani, pemetik kapas, pemintal benang, pria wanita buruh konveksi, pengangkut, supir pengantar, pemasok, merekalah elemen dan unsur dari 'mesin' yang merajut pakaian yang dikenakan manekin-manekin di mall. Karenanya, kala merabai satu-persatu produk tersebut, nuansa lembut dan halus yang terasa, adalah keindahan sapaan kita kepada saudara-saudara setanah-air yang menenun dan mempersembahkan sepotong batik sutra tersebut. Ikhlas rasanya, sewaktu kita membayar barang produk negeri sendiri ini di kasir, seharga upah dan keringat mereka.