.
Mabuk oleh suatu unsur kimia yang tak terdefinisi, semalam aku menceracau, bergumam, dan untuk kemudian aku melakukan hal fatal dalam hidupku. Aku mengumpat dengan kata-kata kasar kepada kakakku. Padahal, langit juga tahu, bahwa ia adalah orang pertama dalam prioritas hidupku, yang amat kusayang. Ia menjagaku setelah orang tua kami meninggalkan dunia untuk selamanya.
Aku berhutang budi banyak, tak terhitung, kepadanya. Baik itu moril maupun material.
Kini air mata menggenang, ketika alam sadarku tersirami air jernih kembali.
Duhai, kakanda tersayang, apakah ia murka dan meninggalkanku untuk beberapa hari ini?Â
Bahkan satu jam pun aku tak tahan, merindu, jika tanpa melihat parasnya, atau pun untaian kata yang terucap darinya.
Sejatinya, rasa itu telah kujaga selama kurun waktu ini.  Sehingga tak layak jika aku mengobral emosi yang lepas ikatannya, akibat input molekul kimia tak baik ke dalam tubuhku, seperti tadi malam.
Kelembutan perasaannya semestinya kurawat dan kutunggui. Kini aku menggigil sendirian di pagi hari nan dipenuhi embun dingin. Aku enggan kehilangan akan sinar surya di senyumannya.
Kak, aku memastikan diri kembali: akan tak padam dan tak lekang oleh waktu, budiku padamu. Sungguh kini bergumpal sesal yang menyesak dada. Menyisakan duri pada bantalku. Menyisakan onak pada selimutku.
Hingga semalam mimpi pun tak sudi mengunjungi. Gemintang jadi rapuh dalam genggaman tidurku.