Mohon tunggu...
ranggaumbara
ranggaumbara Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Seorang mahasiswa yang hobi dibidang otomotif dan media

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Kehidupan salah satu pedagang cilok di Yogyakarta

24 Desember 2024   17:08 Diperbarui: 24 Desember 2024   17:08 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cilok Pak Deden (Sumber : Rangga umbara)

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan di Jogjakarta, di mana suara kendaraan dan keramaian kota tak pernah berhenti, terdapat satu kuliner yang selalu mampu menarik perhatian dan menggugah selera: cilok. Makanan yang terbuat dari tepung tapioka ini tidak hanya sekadar camilan, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari banyak orang, termasuk para pedagang yang menjajakan cilok di berbagai sudut kota jogjakarta. Dalam berita ini, kita akan mengupas tuntas tentang kehidupan para pedagang cilok, tantangan yang mereka hadapi, serta bagaimana mereka beradaptasi dalam menjalankan usaha ini. Cilok, singkatan dari "aci dicolok," adalah makanan khas Indonesia yang sangat digemari. Bentuknya bulat kecil dan biasanya disajikan dengan sambal atau saus kacang. Cilok memiliki tekstur kenyal yang membuatnya disukai oleh berbagai kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Di Jogjakarta, cilok bisa ditemukan di mana saja; dari pedagang kaki lima hingga restoran. Cilok berasal dari Jawa Barat dan telah menjadi salah satu jajanan pasar yang terkenal. Seiring dengan perkembangan zaman, cilok mulai dikenal luas di seluruh Indonesia, termasuk di Jogjakarta. Kini, banyak variasi cilok yang muncul dengan berbagai isian dan sambal yang berbeda, menjadikannya semakin menarik bagi para penikmat kuliner. Para pedagang cilok di Jogjakarta biasanya adalah individu yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka datang dari berbagai latar belakang, namun memiliki satu kesamaan: semangat untuk berjualan dan memberikan yang terbaik bagi pelanggan mereka.

Salah satu pedagang cilok yang menarik perhatian adalah Pak Deden, seorang pria berusia 23 tahun asal Bantul Jogjakarta. Ia telah berjualan cilok selama lebih dari empat tahun di sekitar kampung druwo di Sewon Bantul Jogjakarta. Dengan gerobak sederhana dan senyum ramah, Pak Deden melayani pelanggan setia yang datang untuk menikmati cilok buatannya.

"Setiap hari saya bisa menjual hingga seribu tusuk cilok," ungkap Pak Deden. "Omzet saya bisa mencapai Rp300.000 hingga Rp500.000 per hari, tergantung pada cuaca dan lokasi saya berjualan."

Namun, perjalanan Pak Deden tidak selalu mulus. Ia harus menghadapi berbagai tantangan seperti cuaca buruk, persaingan dengan pedagang lain, dan fluktuasi harga bahan baku. "Kadang-kadang saat hujan deras, pelanggan sepi. Tapi saya tetap berusaha untuk bertahan," tambahnya.

Selain itu, ada juga tantangan dari segi kesehatan dan keselamatan. Beberapa pedagang mengalami masalah kesehatan akibat kondisi lingkungan yang kurang bersih atau kelelahan akibat berdiri berjam-jam.

Para pedagang cilok kini mulai beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan perubahan perilaku konsumen. Banyak dari mereka memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan dagangannya.

Salah satu contoh adalah penggunaan Instagram oleh para pedagang cilok untuk menarik perhatian pelanggan. Mereka memposting foto-foto menarik dari cilok mereka serta testimoni pelanggan. "Dengan media sosial, saya bisa menjangkau lebih banyak orang," kata Agus, seorang pedagang cilok muda yang baru memulai usaha ini. Inovasi juga terlihat dalam variasi menu cilok itu sendiri. Beberapa pedagang mulai menawarkan cilok isi daging ayam atau seafood serta menyajikannya dengan berbagai jenis sambal yang unik seperti sambal matah atau sambal terasi. Keberadaan pedagang cilok tidak hanya memberikan kontribusi pada perekonomian lokal tetapi juga menciptakan lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Banyak dari mereka yang mempekerjakan anggota keluarga atau teman-teman untuk membantu dalam usaha ini.

Selama bulan Ramadan, penjualan cilok biasanya meningkat pesat. pedagang cilok di sekitar Sewon Bantul meraup omzet hingga Rp600.000 per hari selama bulan suci tersebut. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran mereka dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan makanan ringan saat berbuka puasa.

Cilok bukan hanya sekadar makanan; ia merupakan simbol ketahanan dan semangat para pedagang kecil di Jogjakarta. Meskipun menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan usaha mereka, para pedagang tetap optimis dan terus berinovasi untuk memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan.

Dengan setiap tusuk cilok yang dijual, mereka tidak hanya menyajikan makanan lezat tetapi juga cerita tentang perjuangan dan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Keberadaan mereka mengingatkan kita akan pentingnya menghargai usaha kecil dalam membangun ekonomi lokal dan menjaga tradisi kuliner Indonesia tetap hidup di tengah arus modernisasi.

Inovasi dalam produk, pemasaran yang efektif melalui media sosial, strategi harga yang cerdas, ketahanan menghadapi tantangan, hubungan baik dengan pelanggan, serta diversifikasi usaha adalah kunci keberhasilan para pedagang cilok di Indonesia. Melalui pendekatan ini, mereka tidak hanya bertahan di tengah persaingan tetapi juga berkembang menjadi pengusaha yang sukses.

Melalui perjalanan hidup para pedagang cilok ini, kita belajar bahwa setiap gigitan memiliki makna tersendiri---sebuah kisah tentang ketekunan dan dedikasi dalam mencari nafkah demi keluarga dan masyarakat sekitar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun