Akan tetapi, pemberian Grasi ini terbentur dengan kenyataan ABB menolak mengajukan permohonan, termasuk dalam memberikan persetujuan apabila permohonan diajukan keluarganya. Dengan alasan bahwa memohon Grasi sama halnya dengan mengakui kesalahan melakukan tindak pidana Terorisme, yang selama ini secara tegas dibantahnya.
Di sisi lain sulit bagi Presiden untuk memberikan rehabilitasi, sebab apabila hal tersebut diberikan maka sama saja Negara mengakui kesalahannya dalam mengadili ABB. Berbeda dengan Amnesti dan abolisi, yang tidak mensyaratkan adanya pengakuan bersalah baik dari ABB seperti pemberian Grasi maupun pengakuan bersalah dari Negara seperti pemberian Rehabilitasi.Â
Hanya saja pemberian Amnesti dan Abolisi mesti didasari adanya kepentingan Negara sebagaimana ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Tentang Amnesti Dan Abolisi. Khusus untuk Abolisi, sama sekali tidak dapat diterapkan dalam kasus ini karena perkaranya tidak lagi berada pada fase penuntutan, melainkan telah berkekuatan hukum tetap (Res judicata).Â
Memang terdapat jalan instan untuk memberi landasan hukum atas pembebasan ABB yaitu dengan merevisi Permenkumham Nomor 3 Tahun 2008. Revisi ditujukan pada 'Ikrar setia kepada NKRI", akan tetapi hal tersebut menjadi opsi riskan dan sangat tidak populis bagi pemerintah yang selama ini gencar mengampanyekan "NKRI harga mati dan menolak khilafah". Oleh karenanya apabila Presiden sungguh-sungguh hendak membebaskan ABB atas dasar kemanusiaan, mau tidak mau Presiden mesti menggunakan kewenangan konstitutionalnya.
Kewenangan konstitusional yang tepat untuk digunakan Presiden adalah pemberian Amnesti. Tidak disangkal pemberian Amnesti merupakan pilihan sulit, karena mesti memenuhi syarat adanya kepentingan Negara.
Meskipun demikian, pemberian Amnesti ini masih jauh lebih baik daripada pemberian rehabilitasi yang mensyaratkan pengakuan bersalah Negara dalam mengadili ABB. Dalam hal pemberian Amnesty posisi Negara tetap berada di atas karena hanya menghapuskan akibat dari tindak pidana ABB, sedangkan dalam pemberian rehabilitasi posisi Negara berada di bawah karena harus memberikan pengakuan bersalah dalam mengadili ABB.
Mengenai syarat adanya kepentingan Negara, Undang-Undang Amnesti Dan Abolisi tidak memberikan arti apa yang dimaksud dengan kepentingan Negara. Pada kasus pemberontakan pada zaman orde lama, Presiden Soekarno memberikan Amnesti dan abolisi melalui Keppres Nomor 449 Tahun 1961 dengan pertimbangan bahwa para pemberontak telah insyaf dan kembali kepangkuan Republik Indonesia.Â
Kemudian dalam kasus Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan, alasan yang digunakan Presiden adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan negara, pembangunan nasional, memperkokoh hak azasi manusia, serta persatuan dan kesatuan bangsa, sebagaimana tercantum pada Keppres Nomor 80 Tahun 1998. Jadi jelaslah pemaknaan kepentingan Negara dikembalikan kepada Presiden sebagai pihak yang berwenang memberikan Amnesti.
Dihubungkan dengan kenyataan usia ABB yang telah menginjak 80 (delapan puluh) tahun dan dengan kondisi kesehatan tidak stabil, menjadi relevan pertimbangan kemanusiaan untuk dijadikan alasan adanya kepentingan Negara. Sebab, sebagai bangsa yang beradab, negara mesti memastikan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana amanah sila kedua Pancasila "Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab".
Dengan demikian, sudah sepatutnya Presiden sebagai pihak yang hendak membebaskan ABB segera memberikan Amnesti kepadanya. Jangan sampai Menteri Hukum Dan HAM terpaksa melanggar hukum atau mencabut peraturan yang dibuatnya sendiri.
*Rangga Lukita Desnata, S.H., M.H.