Pascaputusan perkara penistaan agama dengan terdakwa Meiliana, media arus utama sangat gencar membuat pemberitaan yang menyalahkan putusan Pengadilan Negeri Medan karena menjatuhkan vonis penjara 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan. Kontennya sendiri didominasi oleh pendapat dari pihak-pihak yang kontra tanpa menghadapkannya dengan pihak-pihak yang pro terhadap putusan tersebut.
Dari pendapat "Aktivis HAM" yang menuduh Majelis Hakim melakukan peradilan sesat, pendapat politisi partai berkuasa yang menganjurkan agar ditempuh jalan musyawarah sampai kepada komentar juru bicara organisasi masyarakat keagamaan, dimuat dan dikemas sedemikan rupa dalam rangka mencari justifikasi kesalahan vonis tersebut, meskipun pihak yang dimintai pendapat belum tentu telah membaca putusannya.
Menjadi permasalahan serius bahwa pemberitaan seperti itu tidak lagi menjadi alat kontrol terhadap pengadilan yang konstruktif, akan tetapi malah menjadi "pengadilan di atas pengadilan" yang mendestruksi kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan.
Alasan yang sering digunakan untuk membenarkannya adalah kemerdekaan pers dengan merujuk kepada hak konstitusional dalam kemerdekaan berekspresi, menyatakan pendapat dan hak untuk mengelola serta menyalurkan informasi, tanpa sedikitpun mengindahkan pembatasan yang digariskan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945:
"Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang denngan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis".
Karena konstitusi Indonesia menyatakan Indonesia merupakan negara hukum yang berdemokrasi maka dalam waktu bersamaan Negara dituntut untuk menjunjung tinggi supremasi hukum dan menjamin adanya kemerdekaan pers sebagai pilar utama demokrasi.
Menyangkut hal itu Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 secara tegas menyatakan bahwa kemerdekaan pers berasaskan supremasi hukum.
Dalam kaitannya dengan lembaga peradilan sebagai tempat menegakkan hukum dan keadilan bahwa Pasal 3 ayat (1) dan (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman melarang segala bentuk campur tangan dan tekanan-tekanan apapun baik fisik maupun psikis terhadap Pengadilan.
Terhadap relasi antara kemerdekaan pers dan supremasi hukum tersebut Supreme Court of California dalam kasus Times-Mirror Co. and L. D. Hotchkiss v. Superior Court of California menyatakan, "Liberty of the press is subordinate to the independence of the judiciary", yang berarti kemerdekaan pers tunduk kepada kemandirian peradilan (Elisha Hanson, Supreme Court on Freedom of the Press and Contempt by Publication, Cornell Law Review, Volume 27, Issue 2 February 1942, Page 177).
Sebagai wahana pembentuk opini pers berkewajiban menghormati norma-norma agama, rasa kesusilaan masyarakat dan asas praduga tak bersalah sebagaimana tercantum Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pers:
"Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah"Â yang dalam penjelasannya menyatakan bahwa "Pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut".