Mohon tunggu...
Rangga Hilmawan
Rangga Hilmawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pemikiran adalah senjata Mematikan. Tulisan adalah peluru paling tajam

Seorang Pemuda Betawi - Sunda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

254 | Bukan Hujan yang membuat genangan

27 November 2020   18:08 Diperbarui: 27 November 2020   18:21 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : Hipwee

Dari sebuah ruangan berukuran 4 x 3 meter, dengan cat berwarna abu-abu gelap ada tulisan besar berkalimat "we are the mods" di dinding bagian atas kasur, ruangan itu beralaskan kerawik bermotif hitam dan putih. Ada satu buah meja komputer, kasur berukuran kecil yang dibalut sprei berlogo move, dan lemari pakaian. Disamping sebelah kiri posisi duduk meja komputer, terdapat sebuah jendela kecil untuk sekedar masuk cahaya matahari. Beberapa poster terpampang di dinding ruangan itu, ada wajah einsten yang ikonik dengan lidah terjulur, guns n roses, dan paolo maldini, bek legendaris club kebanggan kota Milan, Itali. Beberapa kaset pita band beraliran alternatif rock Indonesia  berjejer di atas lemari yang tingginya hanya sebatas bahu orang dewasa.

Di ruang itu sedang diputar sebuah musik dari winamp player, tapi musiknya tidak terlalu selaras, bahkan tidak cocok sama sekali dengan penggambaran visualisasi yang kuterima ketika masuk. seingatku, dia sedang mendengarkan lagu banda neira-yang patah tumbuh, yang hilang berganti. Aku rebahan diatas kasur miliknya, sambil memperhatikan berulang kali dia putar musik tersebut, sesekali dia ikut bernyanyi, walau, jujur saja, alunan suara yang dikeluarkan dari mulut dengan lagu yang diputar tidak bernada sama, sederhananya, terdengar fals.

Suara hujan sudah tidak terdengar lagi dari luar ruangan, dia mengajak untuk berkeliling kota Bandung nanti malam. Aku sedikit berfikir dengan niat menolak karena bertepatan dengan tanggal tua, ya, waktu paling kritis bagiku sebagai mahasiswa rantau yang ngekost. Karena disadari atau tidak, nge-kost adalah sebuah bentuk perjuangan melawan eksistensi keadaan. untuk bertahan hidup, disarankan pandai memilih teman di akhir bulan. 

Belum sempat menolak ajakannya, dia mencoba meyakinkan dengan mata yang berkaca dan berkata.

"ayolah, kita muter-muter aja pakai motorku, ngopi-ngopi doang di jalan asia-Afrika"

Aku tidak bisa menolak lagi, walau tidak ada kata-kata "nanti aku traktir", aku tidak bisa menolak karena sepertinya ada hal yang ingin dia ceritakan, mengingat suasana langsung berubah drastis, rautnya yang tiba-tiba menjadi muram dengan mata menahan tetesan air jatuh pada kantungnya. 

***

Aku duduk dibelakang, menaiki sebuah motor tua asal italy keluaran tahun 1973, dengan cat yang berwarna biru namun sudah kusam dimakan usia, suara yang dikeluarkan motor ini khas, berbeda dengan motor jaman sekarang, namun menurutku ada polusi udara yang harus dipertimbangkan. sesekali temanku bertegur sapa dengan hanya sekedar menganggukan kepala atau berbalas klakson dengan pengendara Vespa lain yang kebetulan berpapasan dijalan, pikirku, temanku ini hebat sekali bisa kenal banyak orang. Dari bojongsoang, Vespa itu melaju pelan namun pasti menuju arah utara kora bandung, persimpangan Buah batu masih menunjukan belum ada tanda untuk belok kiri ataupun kanan, simpang pelajar pejuang, simpang karapitan, hingga persimpangan berikutnya adalah simpang lima kota Bandung, kami tinggal belok kiri unruk sampai pada tujuan. Temanku masih memilih untuk lurus menuju jalan sunda, melewati taman maluku, lalu bertemu dengan simpang BIP, disimpang ini hanya ada dua pilihan, belok kiri masuk jalan merdeka hingga nanti bertemu jalan asia-afrika, atau ke kanan menuju simpang cikapayang (dago). 

Tidak mau berasumsi sendiri, aku nanya

"mau kemana sih kita?" sambil setengah berteriak karena suara motor yang kami kendarai tidak seramah kendaraan lain dia menjawab "muter-muter dulu ajalah, nanti juga ngopinya di asia-afrika"

Dalam hati bergumam "rek kamana (mau kemana) sikampret ini sih", tapi yaudahlah, aku tidak banyak protes, sedikitpun tidak ada rasa curiga. sesalku hanya satu, kenapa hanya mengenakan celana pendek dan flanel, jika tau akan ke daerah atas kan aku bisa persiapkan jaket yang agak tebal atau mengenakan celana panjang, salahku juga sih, kemanapun itu, jika menggunakan sepeda motor memang sudah seharusnya pakai celana panjang, jaket, sepatu dan helm. 

***

Setelah puas mengelilingi hampir seperempat wilayah kota Bandung, akhirnya kami menepi di depan sebuah gedung bersejarah, yang sekarang menjadi museum konferensi asia afrika, di sebuah tangga yang menjadi pintu utama gedung tersebut, kami duduk-duduk santai sambil meluruskan kaki yang sedari tadi tertekuk di atas motor. Dia berdiri dan meregangkan badan, memutarkan tubuhnya kekiri dan kanan disambut suara "kretek" dari punggung dan tubuh besarnya, lalu beranjak pergi melangkahkan kaki ke sisi kanan tempat kami beristirahat. kembalinya dia sambil menenteng dua buah gelas berisikan kopi, satu gelas berisi kopi mocacino, satu lagi bisa kutebak, kopi hitam yang tidak di aduk. aku tau persis apa kesukaan dan kebiasaannya.

Sambil menikmati masing-masing kopi, tidak lupa sesekali menghisap dalam-dalam rokok yang sudah sisa setengah bungkus. Kami berbicara tentang perkembangan dunia sepak bola, karena perbedaan kesebelasan yang kami jagokan berbeda, obrolan itu semakin hangat. obrolan yang didasarkan pada kebenaran-kebenaran keadaan, bukan kebenaran dari satu sudut pandang, karena akan menimbulkan pertikaian nantinya, dia dan aku sama-sama meenjagokan tim yang mempunyai sejarah buruk rivalitas supporternya, aku suka Persija, dia bangga pada Persib. 

Obrolan semakin melebar dan meluas kesana kemari, bosen dengan bola, kita sesekali mengomentari kendaraan yang melintas, keadaan politik, hingga (maaf) gaya, waktu dan tempat bercinta yang menurut kami layak dicoba suatu saat nanti. Aku tidak sampai hati untuk bertanya pada inti obrolan yang ingin dia sampaikan, biarkan saja ini mengalir hingga dia merasa ingin menceritakan. Hingga dia berkata, "urang (aku) baru purus tiga hari yang lalu". Bukannya aku berempati atas apa yang dia rasa, aku malah tertawa terbahak-bahak sambil memukul pelan bagian lengan atasnya. Sungguh saat itu bukan aku tidak merasa empati, yang ada di pikiranku hanya ; itu bukan sebuah pernyataan yang harus aku percayai, karena kukenal dia saat kelas 1 sekolah menengah atas, sebelum aku kenal dengannya, dia sudah menjalin kisah dengan wanita ini.

***

Sesaat setalahnya, kami mulai serius berbicara. Dia meyakinkan bahwa ini bukanlah hal yang wajar untuk dijadikan candaan, ditambah muka yang sendu seperti tidak ada gairah menambah keyakinanku, ini memang serius, kawanku diakhiri perjalanan cintanya secara sepihak oleh seorang wanita, yang selama ini mereka berdua tulis cerita dari setiap harinya, setiap kejadiannya, setiap perjalanan dari awal hingga titik ini.
Bukan hanya masalah waktu yang lama mereka jalani, tapi perkenalan kedua keluarga sudah terjalin, dan lagi, seingatku beberapa hari kebelakang dia masih berbalas BBM dengan wanita yang sekarang bukan lagi menjadi kekasihnya. 

Dia memperlihatkan sebuah pesan dari wanita bernama jesika, seorang penyiar radio yang sekaligus adalah kekasihnya (saat itu), berisikan; "a, maafin dd sebelumnya, kayaknya kita harus udahan aja. Jujur dd masih sayang banget sama aa, dd juga gamau pisah sama aa, tapi dd pengen aa fokus aja di bandung kuliahnya". Aku menghardik wanita ini, alasan macam apa memutuskan hubungan yang sudah dijalin selama dan sejauh ini, jika dikupas melalui metodologi apapun, alasannya terlihat mengambang. Aku lihat tidak ada balon percakapan setelahnya, aku tanya ;
"lu bales apa? ko gw ngerasa ada yang aneh"
 sambil memasukan Hp kedalam saku jaket yang dia kenakan, sedikit menaikan bahu dan senyum ketus diraut wajahnya dia menjawab "urang (aku) langsung telfon dia, tapi ya gitu jawabannya, jawabannya ga menjawab pertanyaan urang (aku), tapi kemarin malem udah telfon kakanya, pas denger penjelasan kakanya, gatau harus gimana, ya, akhirnya cuman bisa nerima, pasrah"

Aku hanya bisa terdiam, mulutku kaku ketika akan bertanya kembali "emang kakanya bilang apa", seperti tiba-tiba tertahan, ada lakban yang melingkari mulut untuk sekedar berkata empat buah kata tersebut, karena melihat dia tiba-tiba mukanya memerah, air matanya tak tertahankan, menundukan kepala diantara pahanya. Aku hanya bisa mengelus punggung dan merangkulnya dengan satu tanganku, karena tangan satunya sedang sibuk memegang sebatang rokok.

cerita setelahnya -> Genangan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun